CERPEN




       BURUNGNYA BOSS WARCENG

   
  Oleh: St. Sri Emyani

     Entah gimana mulanya. Warung Cengir atau yang sudah terkenal dengan nama warceng itu kok sepertinya  penjualnya hanya laki-laki saja. Apa ya emang anti cewek, atau gimana? Tapi kayaknya, ya  tidakah.  Masalahnya, kemarin ketika saya nyantai melintas di muka warung, melihat ada sosok wanita yang masuk ke warceng. Entah,  kalau itu bukan  Penjual. Tapi, malah pembelinya. Mari sekarang mencoba melihat-lihat, di atas muka warung  terpampang  baleho raksasa.Te
rnyata dipajang pengumuman, menyerupai sayembara. Bukan sayembara mengarang, tapi pendaftaran pegawai Warceng yang  test penyaringanya mirip kontes atau malah festival. ‘Woro-woro’ itu bertuliskan besar dan mencolok ’Warceng menerima pekerja baru untuk wanita, dengan syarat bisa mengicaukan burung’. Burung  Glatik Wingkonya si  Boos Warceng-- kabar berita yang aktual dari mulut ke mulut—malas, tak punya semangat bahkan mogok berkicau. Jangankan bertembang dan berdendang, setiap hari  burung hitam itu hanya tidur melulu. Malah kemarin, dikeluarin dari Sangkar. Supaya bisa terbang kembali, e e e alah hanya mengangguk-angguk dengan mata setengah terpejam kehabisan asa atau malah udah ngedrop.  Ia enggan untuk mengepakan sayap. Kata mas Nenar Naboh Kenong, dulu sangat gemar berkicau. Setelah musim dingin tiba, bangsa unggas yang belinya dari pasar Ngasem itu protes, tidak mau bernyanyi dan berkicau lagi.

     Padahal takkala ada orang-orang yang mau beli di Warceng, biasanya burung berparuhkan panjang itu  dengan lantang bertembang.  Nyaring suaranya, bak lantunan   Nyi. Condrolukito ‘waranggono’ di era Ki  dalang Narto  Sabdo. Jangankan gadis remaja belia, tidak sedikit  para janda dibuatynya terkesima  mendengar tembang kicaunya yang menyayat jiwa. Menggapai relung nurani. Burung yang ditempatkan disangkar sutra itu  memang pantas untuk hiyasan atau pajangan rumah  mewah. Karena, di samping kicaunya  yg merdu, juga punya warna  hitam kelam, dan  menawan.

     Sebenarnya saya juga tertarik untuk mendaftarkan diri.Tapi, mengapa yang bisa mengikuti kontestan kok hanya wanita? Dalam hatiku menggerutu. Kurang setuju.Ini diskriminasi dan musti diakhiri. Dengan menerbangkan imajinasi, tidak terasa jemariku mengusap-usap kumis yang mulai menebal secara alamiah. Rasa- rasanya dengan tumbuhnya rambut diatas bibir, kok sulit untuk mengelabuhi booss-nya Warceng yang punya perawakan tinggi besar kayak sosok Bima tokoh di Mahabarata. Alkitab sastra, mahakarya Viyasa dari India. Disamping itu, boss  kaya harta yang juga berpenampilan nyentrik ini, kabarnya juga senang koleksi bunga: mulai bunga plastik di; Mol,  Plaza, Salon  hingga bunga alam yang bermadu dan beraroma dari Gunung dan Kampung.
    
     Aku terperanjat, lalu menengok. Kala dari arah belakang ada wanita  separo baya berambut ungu  mencolek mesra.
     “Mas.. mas..  Warceng buka pendaftaran lagi ya?” Dari pertanyaan wanita bertingkah genit itu, aku pun  berkesimpulan. Bahwa, warceng sering membuka  kontes sayembara kayak  gini ini.
     “He eh.Tapi syaratnya…?”
     “Hiya aku sudah baca kok syaratnya Mas. Sepertinya saya ada bakat, juga punya hoby merawat burung. Dirumah aku dibelikan burung Unta oleh mantan kekasih. Mulai menyediakan minum, kasih makan sampai membersihkan sangkarnya  saya kerjakan sendiri dengan riang, tanpa keluh. Kita  saling sayang, kita penuh kasih. Sehingga, hampir setiap pagi, burung berpunggung botak itu  setya berkicau.  Menari dan menyanyi. Membangunkanku dari mimpi. Kicaunya pun semangat, dan berarti. Mungkin saja banyak setamina dan energi. Karena, hampir setiap sore minumnya aku belikan STMJ  di timur Makam Pahlawan sana hehehe he he he…” berkata begitu wanita girang itu dengan menebarkan tawa yang dipaksakan. Dan menawarkan senyuman yang di buat-buat. Aku muak. Tapi biar tidak tersungging, eh tersinggung aku juga menerimanya dengan ganti  menyajikan senyum  ringan.
     “ Lha sampean dari…?”
     “ Ngalam.” (Malang = dibalik ). Kelihatnya wanita ini juga mengerti bahasa gaul dari Malang.
     Terus, nama Mas..?”
     “Emyani”
     “kok kayak nama wanita saja. 
     “Iya, tapi kan tidak ada larangan. Terus, nama mbak ..?”
     “Peri Nglarani.”
      “Hua ha ha itu nama asli atau…”
      “Iya, tapi kan tidak ada larangan.juga.”
      “Ah ngekor”
       “ hua ha ha ha…!!!Bersamaan melepaskan tawa keras. Sampai Belalang  Kayu yang masih malas bangun dan masih bertengger di daun Johar pun terkejut. Lalu dengan nalurinya, sepontan terbang ke angkasa raya.

     Tidak selang lama, pengumuman yang bertuliskan huruf-huruf  balok itu dibanjiri  oleh para pendaftar. Anehnya, setelah baca pengumuman kebanyakan senyum-Senyum. Malahan tidak jarang juga yang berlanjut dengan berbahak-bahak dengan memegang buncit perutnya. Padaha, aku masih ingat, kalau sekarang ini tidak malam jum’at. Malam keramat. Malam yang konon katanya, banyak bangsa lelembut yang gemar   memasuki raga manusia  kosong. Entahlah, kalau memang ada yang ‘mbaurekso’ Tugu kebanggaan Ngayogakarto Hadiningrat itu kemudian merasa terganggu oleh riuh serta gaduhnya para pendaftar Warceng. Kemudian ganti mau membalas dengan caranya sendiri. Entahlah, aku kurung faham juga.

     Seperti biasa, setelah menapaki sepanjang jalan Mangkubumi-Maliobboro--dan tentu tidak lupa pula, beli koran Kedaulatan Rakyat atau KR--  kemudian saya menuju Sarkem, tempat saya menyewa Losmen MM atau Murah Meriah. Sekedar tahu. Sarkem merupakan pasar kembang di Yogja. Kembang ayu-ayu di sarkem, tidak terlalu pelit senyum. Dari kamar yang catnya sudah muram, lantaran memang sudah ‘usurd’ karena dimakan usia itu aku mengembangkan imajinasi serta memerah pikir. Alhandulillah, tidak begitu lama aku  sudah menemukan idea gemilang. Baru tergambar dalam ingatanku, kalau dulu saya lama bergabung dalam grop ludruk “Tobong Budaya”.Di dalam  pentas teater tradisional, saya sering kebagian peran wanita. Karena di dalam sandiwara semua anggotanya pria, maka semua tokoh wanita  diperankan oleh kaum laki-laki. Setelah pergelaran usai, saya sering juga kena sasaran  cium oleh  sesama pemain. Malah kadang  penonton juga ada yang nekat mendekap dengan  “singak singuk” ngesun pipiku. Katanya, aku cantik. Sebenarnya aku geli dan risih juga lho. Tetapi, lama- lama juga terbiasa. Dan asik juga kok.

      Tekatku  sudah membaja. Semangat pun membara berkobar untuk  bisa menjuwarai sayembara dari boss Warceng. Kemudian, aku kembali keluar dari kamar losmen Sarkem. Setelah kesepakatan harga dengan pengemudi, saya pun cepat  naik jok Andong berkuda dua menuju jalan Moliobboro. Jalan teramai di kota budaya. Aku mencari toko tempat menjual peralatan-peralatan: Mulai dari BH yang berukuran super kolosal, Bedak hingga Lipstick murahan untuk pemanis bibir. Bereslah. Dengan over dosis, saya pun berdandan layaknya wanita.  “Hehehe he he..”Dimuka cermin, aku tertawa sendiri. Kembali terbayang masa silam, saat gemerlap di atas panggung ludruk dan ketoprak.
      ***

     Test dimulai dengan wawancara. Di babak pertama saya mengeluarkan jurus suara alto. Tidak ada rintangan, dan mulus untuk masuk test berikutnya. Banyak konstentan lain, yang  berguguran. Luruh, tidak berdaya melawan suara manja dan tingkah kegenitanku. Saya tersenyum.Dalam hati, Lha wong saya dibesarkan dalam mental panggung. He he he... kalau hanya test begini sangatlah ‘cetek’, kecil dan sepele. Sepintas, aku mencoba melirik Boss Warceng. Beliau pun tersenyum, dengan mengangguk-angguk.Memompa semangat dan percaya diriku.
     Akhirnya dari 999 pendaftar, hanya aku  dan wanita dari Bendosulur  yang masuk finalis.Peserta yang lain sudah banyak yang meninggalkan arena, dengan meninggalkan hati ‘dongkol’ dan kekecewa. Menghadapi lawan yang tinggal satu, aku semakin yakin dan bernyali. Apalagi kalau saya perhatikan tandingku: Pinggul dan Pantat kalau untuk bergoyang ya jelas bahenol dan hot saya. Begitu juga Payudara, juga terlihat lebih super payudaraku. Kecerdasan dan ketajaman pisau analisa, saya tidak sombong. Pernah berguru khusus pembelajaran teologi ke Prof. Vans Keplegh Gonk. Untuk test terkhir ini,disampng yakin. Sudah jauh dari rasa bimbang dan  ragu

     Kedua finalis, kemudian di lombakan untuk  memberikan kasih dan sayang merawat  burung. Knyataanya, sayalah yang trampil dan cekatan. Sehingga, dengan nilai yang maksimal. Lawanku tersingkir dan dieliminasikan. Hore.. hore...tinggal selangkah lagi saya jadi juara.Test terakhir, saya nanti harus bisa membangunkan dan mengicaukan burung Glatik Wingko kesenanganya boss Warceng. Dan saya musti dapat hadiah uang banyak. Hem, terbayang rumah dan mobil mewah.Setelah itu jadi pegawai Warceng, disamping kondang, gajinya tentu tinggi.Jiwaku terbang.Sukmaku melayang.

     Paginya aku siap-siap untuk  mengikuti test sayembara terakir. Dari Sarkem menuju kantor warceng, aku tidak lagi  naik Andong. Tapi nyewa taksi. Gengsi ah. Di tempat arena sayembara, sudah ada Boss warceng serta burung Glatik Wingko kesukaanya. Aku melirik sepintas, burung itu memang tidur pulas.Seperti kehilangan energi.
     “ Selamat pagi boss” sembari ku tebarkan senyum.
     “pagi.” jawabnya minim kata, jaga wibawa
     “Test terakhir bisa dimulai boss?..”
     “Oke”
     Boss Warceng ternyemum dan melirik sebentar. Burung dengan warna kelam itu ku elus lembut dan mesra. Masih saja tak tergeming. Mungkin saja burung ini sebelumnya memang  tidak terawat. Baik; minum, makan atau sangkarnya yang hanya itu-itu saja. Monoton dan tidak pernah ada renofasi. Sehingga, membut burung  setreess yang berkepanjangan. Supaya ada kehangatan, aku pun memberanikan diri memberikan ciuman lembut di paruh burung yang tak berdaya itu. Matanya, mulai berkedip-kedip, mau bangun. Meski pun,  masih kelihatan malas tak bersemangat. Sekali lagi, saya meberanikan diri dengan “cup” memberikan kecupan mesra di  keningnya yang mulai rontok bulunya. Burung itu berdiri, dan mengepakan sayap. Tapi, masih saja belum berkicau. Aku jengkel juga. Di depen burung keparat itu, aku pun juget  dan bergoyang hot, melampui ngebornya Inul Daratista. Bahkan, lebih super erotis lagi. Boss Warceng itu, menikmati sekali suguhan atraksiku yang sepektakuler.

     Tapi sial,  karena  expresi yang berlebian. Akibatnya “bruulll..bruull..’Bantal untuk mengganjal pantatku biar terlihat montok itu lepas dan jatuh. Menyaksikan kejadian itu mata boss Warceng terbelalak. Saya terkejut. Burung itu mulai berdiri dan memandangku. Sebelum rahasia terbongkar gamblang.Aku cepet lari sekencang-kencangnya,  meninggalkan arena sayembara. Anehnya, saya dengar sayup-sayup burung Glatik itu berkicu. Tetapi, aku harus lari ya berlari sekuat tenaga. Boss Warceng itu mau  berlari mengejar. Tapi sudah tak bertenaga.
     “Jeng..jeng Yani.. ja jangan lari.. Kamulah pemenangnya sayembara ini. Jeng... jeng Yani.. berhenti..!!! berhentilah ...!!!” Aku tak menghiraukan dan terus berlari seperti angin.

     Sampai di jalan raya, saya cepat naik bus kota yang melintasi Sarkem.
    “ baru tanggapan  mbak..?” aku kembali terkejut. Ketika kondektur bus  membangunkan lamunan. Saya baru sadar, kalau  masih berpakaian wanita serta bedak dan lipsticks memenorkan roman mukaku.  Dengan memberikan uang pas, aku pun menjawab
     “Iya.”   Dan yang tidak  keluar di mulut “Diancuk.”.
                  

    *** Panggul-Trenggalek’ 1994
( Cerpen dua bahasa ini, pernah diterbitkan majalah Mekar Sari )



     






         

      BUMI KEMARAU

      Oleh : St. Sri Emyani
   
    
  Garang, terik matahari memanggang bumi pesisir Panggul . Dan kemarau pun menjalar kemana-mana hingga kampung pedalaman gunung Sanggung dalam lokasi cerita ini. Sementara itu, sesekali terdengar suara angin siang membawa keributan bersama dedaunan kering dan benda-benda lainnya ke tinggi udara.
     “Kaang...” Kering bibir wanita kumuh itu bergerak didepan lelakinya.
     “Ada apa Siti?” Lelaki jangkung yang wajahnya dikuasai oleh bulu-bulu kumis dan jambang itu memandang tajam pada istrinya.
     Yang dipandang masih diam mematung, belum sempat meluncurkan kata-kata. Dan sesekali tangan kurusnya bergerak mengusap tubuhnya yang kurus kerontang. Diabaikannya perut dan bagian tubuh lainnya, telanjang dalam ciuman udara siang yang terik. Sementara itu sang lelaki yang tangan kanannya memegang sabit masih memijarkan tatapan matanya.
     “Mengapa musti ragu-ragu Siti? Kalau memang ada perkara, lekas utarakan.”
     “Anu, tadi malam ada kebakaran hutan.”
     Lelaki berkumis tebal dengan tubuh tinggal kulit dan belulang itu tersenyum samar dan getir, penuh sindiran.
     “Kang, kang Danu mengapa sampean tidak menanggapi, atau kang Danu turut terlibat seperti pada musim kemarau sebelumnya?”
     Kembali lelaki jangkung dengan pakaian kumuh itu menjulurkan senyuman getir.
     “Kalau iya mau apa kamu? Perempuan itu jangan turut mencampuri urusan lelaki, Siti.”
     “Jadi kang Danu turut membakar hutan pinus itu?”
     Perlahan lelaki kumuh itu mengangguk, sambil mengusap-usap jenggotnya yang tumbuh menebal.
     “Ada apa kamu bersusah hati Siti, yang begini ini kan urusan lelaki, perempuan itu jangan neko-neko.”
     “Tetapi kang, saya khawatir.”
     “Kamu khawatir saya disel, saya dihukum?”
     Perempuan setengah umur itu menggoyangkan kepala, menggelengkan parasnya.
     “Bukan itu yang saya khawatirkan kang Danu?”
     “Lantas?”
     “Saya was-was, jangan-jangan...”
     “Kamu khawatir kalau aku dipenjara. Lantas kekurangan kebutuhan batin...”
     Kembali wanita kering itu menggoyangkan kepala.
     “He, lantas apa yang kamu khawatirkan Siti?”
     “Tentang ‘penunggu’ sumber itu Kakang, tentang penjara lama atau cepatnya, akhirnya kang Danu kan keluar juga, tetapi tentang kutukan yang disemburkan oleh sang penunggu beringin dekat sumber itu, aduh mengerikan sekali kang Danu.”
     “Nanti dulu, Siti.”
     Otot kekar itu meraih bahu perempuan dihadapannya, dan kembali pijar mata lelaki itu memandang garang.
     “Bagaimana kamu kok membawa-bawa soal beringin dengan sumber segala, saya memang membakar hutan pinus itu dengan teman-temanku yang sekaum dan senasib. Aku lakukan semuanya itu demi kepentingan bersama demi perjuangan yang merata.”
     “He, kang Danu menyangkut-nyangkut soal perjuangan, soal kemerataan.”
     “Kamu tahu Siti, bumi ini titipan Tuhan, hutan pinus yang tumbuh dilereng pemangkuan kaum kita itu jelas tidak menjajikan hidup keseharian kita. Kita tidak kenyang dijejali minyak terpentin, dan minyak kayu pinus, kita ini butuh makan. Dan dulu sebelum hutan ini dirombak menjadi hutan pinus, lahan-lahan tertentu dikuasakan kepada kita untuk kita tanami padi dan ketela. Sekarang yang demikian itu tidak pernah terjadi Siti, dimusim kemarau seperti sekarang ini, disamping kita kesulitan mencari air kitapun dihadapkan pada perkara lain, ya kita dipanggang oleh kebutuhan pangan yang kian menghimpit, padahal dahulu lahan itu menjajikan keseburan untuk kita tanami padi’gogo’ sehingga pada musim paceklikpun kita punya cadangan.”
     “Kang?”
     “Apa lagi?”
     “Kang Danu kok jadi seperti ini sih sikapnya.”
     “Maksudmu?”
     “Kakang itu kan dulu menurut lembaran sejarah merupakan sosok pejuang yang tangguh. Jaman perang kemerdekaan kang Danu membawa bambu runcing dan dengan gigih mempertahankan Pertiwi dari rebutan bangsa Belanda, kaum kompeni yang menancapkan kuku-kuku penjajahannya di bumi pertiwi ini Kang. Lha kok sekarang ‘sampean’ berbalik kiblat mengarah pada tindak durjana.”
     “Hus, kalau bicara mulutmu yang hati-hati Siti. Kau katakan aku mantan pejuang memang benar.”
     “Dan sekarang Kakang menyimpang dari perjuangan itu.”
     “Itu saya lakukan terhadap ketidakpuasan yang aku alami sekarang ini.”
     “Ketidakpuasan, mengapa kang Danu tidak puas, bukankah sudah ada tindakan bijak dari pihak Perhutani. Penanaman Pinus itu pun untuk kepentingan kita Kakang, untuk kepentingan bersama. Kang Danu lihat sendiri to, saudara-saudara kita disini dapat mencari mata pencaharian, dengan jalan meminta imbalan hasil buruh menyadap minyak pohon-pohon pinus itu. Mengapa tindak durjana itu kang Danu ulang lagi atau...”
     “Atau apa, kamu curiga.”
     “Tentu Kang.”
     “Jangan-jangan kang Danu itu sekedar menjadi wayang semata, dan dalangnya ada dibelakang layar, seperti dulu...”
     “Bangsat, kamu itu perempuan, tahumu uang belanja, ngurus dapur dan melayani suami, itu saja. Lain-lain kamu jangan banyak bertanya Siti, yang begini urusan lelaki.”
     “Kaaang..!”
     Lelaki kumuh itu melangkah tegak dengan pandangan mata memijar garang, segarang matahari diterik kemarau.
     “Kaang..!”
     Sejurus lelaki kumuh itu menoleh kebelakang.
     “Ada apa lagi Siti?”
     “Saya takut Kang, sungguh saya merasa ngeri, jangan-jangan yang menjadi kekhawatiran sanak saudara kita disekitar lembah Purung ini akan menjadi kenyataan.”
     “Tentang hutan yang terbakar itu lagi.”
     “Bukan.”
     “He.”
     “Saya khawatir juga para’puak’lainnya pun merasa was-was, jangan-jangan ‘penunggu’sumber itu benar-benar mengamuk, dan mengutuk kita, sebab setelah pohon beringin yang menjadi pagar mata air itu dibakar semak-semaknya, lantas beringin sendiri tumbuh layu, dan mata airnya kini berkurang, jangan-jangan yang begini ini ada hubungannya dengan pembakaran yang kang Danu lakukan itu. Sungguh kang aku merasa ngeri dan was-was, bagaimana kalau sang ‘penunggu’ itu benar-benar mengutuk penghidupan kita, bagaimana kalau sumber air yang menjadi kebanggaan kita disetiap kemarau panjang itu berhenti menyemburkan air. Akan kemana lagi kita cari kebutuhan air bening itu.”
     “Sebentar Siti. Tentang beringin yang menjadi pagar sumber mata air itu aku tidak pernah mengganggu.’
     “Tapi Kang, tadi kang Danu telah mengaku, kakanglah yang membakar hutan itu dengan rekan-rekan sehaluan ‘sampean’.
     “Yang membakar hutan di bagian atas itu memang aku dan teman-teman Siti, tetapi aku ini masih tahu ‘keblat’. Jadi tentang sumber mata air itu aku tidak mengganggu gugat, termasuk semak-semak sekitar dan pohon beringin yang menjadi pagarnya.” Sejenak lelaki jangkung dengan tubuh kerontang itu merenung jauh. “Aneh, jadi mata air itu dibakar orang, pohon-pohon pelindung dan semak-semak sekitarnya?”
     “Siti mengangguk.”
     “Tetapi yang sepeti itu aku tidak melakukannya Siti, aku tidak membakar beringin dan semak-semak sekitar sumber itu. Yang kubakar itu reranting kering rerindang hutan dibagian atas, yang dulu menjadi lahan seluruh ‘puak’didukuh ini. Aku masih sadar Siti, mata air itu milik kerabat, milik kita bersama dan saya kira para teman-teman lain pun tidak ada yang melakukannya. Mereka pun masih ‘waras’ dan sadar betul pohon-pohon keramat itu menjadi bagian kita, telah menjadi sisi yang kita miliki bersama. Sebab kalau mata air itu berhenti mengalirkan sumber, pastilah air mata kita yang akan menggenangkan duka dan kepedihan.”
     “Tetapi kang Danu, sungguh semak-semak dekat sumber itu pun turut terbakar dan apinya pun ikut menyulut pohon-pohon beringin besar disekitarnya. Akibatnya pohon-pohon raksasa itu pun layu dan ranggas. Kita semua sangat was-was Kang, sangat khawatir jangan-jangan ‘penunggunya’ akan murka dan mengutuk kita dengan sesuatu yang mengerikan. Sudah ada dua orang anak yang sakit panas Kang, menurut khabar dua bocah itu pun terkena ‘teluh’ dari sang penunggu sumber air itu.”
     Sunyi. Angin siang berkelebat di pohon-pohon, menghamburkan reranting dan dedaunan kering serta apa saja yang bisa diterbangkannya.
     Lelaki kumuh itu merunduk.
     “Kaang...”
     Sejenak ia mendongak, menatap istrinya dengan pandangan lurus. “Benarkah kang Danu tidak membakar semak-semak dan pepohonan beringin raksasa penunggu sumber itu Kang?”
     Mengangguk.
     “Lantas siapa yang melakukannya, siapa yang bertindak sekeji itu?”
     Diam, tak ada kalimat jawaban, hanya terdengar helaan nafas berat, lelaki kerontang masih tepekur memandang bumi, dengan sinar layu.
     “Kaang...”
     Kembali mendongak.
     “Saya percaya kang Danu tidak melakukan siksaan pada sumber itu, pada para makhluk halus penghuni pohon-pohon beringin itu, saya percaya Kang Danu tidak melakukannya. Tetapi mengapa diterik kemarau ini, Kang Danu tega membakar pepohonan pinus yang daunnya mengering di hutan atas itu?”
     “Siti...”
     “Ya Kang, aku ini istrimu, istri Kang Danu.”
     “Aku lakukan semua ini atas perintah...”
     “Perintah siapa Kang Danu, perintah yang dulu itu, dari orang-orang yang menginginkan lahan itu?”
     Berat ia mengangguk. “Tetapi Siti, yang lebih penting lagi pembakaran hutan itu aku lakukan atas...”
     “Atas perintah juragan Karto?”
     “Ya, tetapi yang penting juragan itu hanya sebagai alatnya saja Siti, yang lebih penting lagi, aku lakukan semua itu atas perintah uang, ya atas perintah uang, kukerjakan pekerjaan yang sebenarnya mengandung resiko itu. Sekali lagi istriku, aku kerjakan semua itu atas perintah uang, kamu tahu kan Siti, kemarau musim ini teramat panjang, teramat garang membakar penghidupan. Orang-orang macam aku harus mencari pelarian yang tepat untuk mendapatkan sesuap nasi, untuk melangsungkan kebutuhan hidup.”
     “Tetapi Kang Danu, mestinya mengingat resikonya.”
     Semua sudah saya hitung Ti, aku kan tidak akan lama dipenjara dan nanti sekembaliku ke bumi ini, hujan biasanya telah menetes, sementara ini kau cukup kubekali dengan uang upah, sebab disana, dipengap ruang penjara kebutuhan perutku dan juga teman-teman sejuang pasti terpenuhi, aku lakukan ini karena kebutuhan ekonomi yang mendesak, yang menjerat kita istriku.”
     “Kaang, Kang Danu, apakah semua yang Kang Danu lakukan itu atas perintah juragan Karto yang merasa iri bekas lahan cengkehnya di desa dengan tanaman pinus oleh pihak perhutani.”
     “Bukan.”
     “Bukan? Lantas siapa yang memerintahkan kang Danu melakukan semua ini.”
     “Oknum-oknum tertentu dikalangan pegawai Perhutani sendiri Siti.”
     “Astaga, jadi?!”
     “Seet, tahukah kamu istriku, bahwa hutan yang terbakar itu kelak akan dianggar oleh pemerintah dengan hitungan yang tidak sedikit. Di situ para oknum tertentu biasanya menggunakan kesempatan dengan untung yang berlipat ganda, jadi mereka kerjakan orang-orang sepertiku, tidak rugi istriku.”
     “Akh Kang Danu, aku kira juragan Karto yang membikin usaha macam itu, jadi ada pihak lain yang lebih...”
     “Sudah- sudah jangan keras-keras, kamu kira juragan Karto pun tidak ambil bagian dalam soal bakar membakar semak-semak ini, tuh yang kau resahkan, yakni tentang pembakaran sumber itu memang juragan Karto yang melakukan, aku yakin bos gendut itulah yang membakar semak-semak di sumber mata air, pertama juragan yang nekat itu ingin mengambil keuntungan dari kayu-kayu raksasa itu, untuk membangun rumah-rumah yang diborongnya dikota sana.”
     “Jadi Kang Danu, kalau begitu orang-orang itu semuanya sibuk mencari keuntungan dengan jalan gila masing-masing.”
     Mengangguk. “Dan yang lebih penting lagi istriku, kemarau musim ini lebih panas membakar mata hati umat manusia, lebih garang memanggang jiwa, manusia sudah semakin sibuk dengan ego-nya masing-masing, tanpa mempedulikan akibat yang ditimbulkan, yang dilakukan.”
     Sunyi, hanya suara angin yang berkelebat menjilat dedaunan, menjilat bumi yang kian ranggas mengering. ***N u w u n

Panggul –Trenggalek
(cerpen ini pernah dimuat harian SURYA minggu)
     




      LELAKI  TAK  BERARTI
    
       Oleh: St. Sri Emyani
         “Merdeka..!!!!.”
      Lelaki absurd itu berteriak  sontak,  sambil mengepalkan kedua  tanganya. Suaranya pun menggelegar  dan menggaung hingga puncak gunung Sanggung,  membelah suasana  sepi di bumi pantai. Pesisir  Joketro bawah  tlatah bumi Panggul pagi itu lengang dan sunyi . Hanya angin tenggara yang  meniupi daun pandan, yang usang luruh. Gugur, menyelimuti tanah dibawahnya yang  tidak gembur. Lantaran  air yang jatuh dari langit,   hanya didapatkan kala musim kemarau pergi dan penghujan pun sebagai pengganti. Atau saat malam tiba, udara dingin membawa kabut dari ranting cemara Udang . Lalu, paginya ada embun yang menetes dari pucuk tunas daun muda , lalu luruh. Samun kembali.
     Kemudian  pria lusuh itu meludah ke bumi.
     Kakinya yang telanjang dihentakan tiga kali
     “ Juhhh..!!!!”
      Setelah dipastikan tidak ada makluk lain, lelaki itu memusatkan perhatian penuh, tanganya memegang  paser dari selangkangan, lalu  mengarah ke pertiwi. Sebentar  memandang bumi sepi. lalu “Currr..” dari liang kecil tengah  memancarkan  air mengarah ke bumi pesisir, bumi pantai yang kering, “lap” habis dihisap bumi kerontang.
     Sementara:  batu Gamping, batu Paras dan batu Marmer  yang  ada disampingnya hanya  diam, mematung dan membisu. Begitu juga, Gunung Sanggung yang tidak mengerti akan persoalan serta masalah yang diemban  lelaki  gimbal  hanya  terdiam merenung dan mematung. S u w u n g.  Ya di dalam kesunyian mungkin gunung itu menyesali nasibnya sendiri.  Di dalam sastra lesan, dulu gunung  dalam latar cerita ini sebagai  benteng  dan pagar: pantai  Konang, pantai Joketro dan  pantai Pelang. Bahkan, dalam sejarahnya pun gunung Sanggung  sangatlah digdaya  dan penuh kharisma dengan  gimbal dan gondrong  rambutnya. Sayang, ketika datang orde canggih, gunung  yang punya mitos menyimpan dan mengandung  Berlian, intan dan Emas  sebesar kerbau berkubang bahkan segede Gajah hamil  itu sekarang kering kerontang dan tandus. Para cukong dan blandong datang dengan: memangkas, membabat, menjarah serta memerkosanya hingga tidak lagi perawan. Mulai; alis, bulu mata, kumis,  jenggot, ketiak, bulu  kelamin serta bulu jempol kaki  pun  di gundul  tak tersisakan.  Sehingga, para sato hewan  juga bangsa kutu-kutu  dan belalang  yang biasanya makan, tidur, kawin dan selalu  merdeka sama  kabur mencari rimba raya. Gunung sanggung  tidak  lagi sanggup menerima:  keserakahan, ketamakan dan ambisi.  Dari kaum yang menamakan dirinya makluk  mulia.Ya paling mulia dijagad raya ini. “cuh”
    “Hem, pertiwi”
     Lelaki  absurd  itu  merunduk tanpa arah pandang yang tertuju.  Air matanya tersumbat sukma yang kerontang,  ‘jagad rad pramudita’ pun ikut  lengang.
     “Duh, Gusti”
     Lelaki absurd itu  masih mampu menyebut yang membuat hidup dan kehidupan. Kemudian menengadah ke langit.Tangan bersilang di dada. Sementara, terik yang mau memanggang bumi pun tidak akan melekangkan kekosonganya. Mereka telanjang. Karena, dunianya  memang sudah ditelanjangi oleh  bentuk-bentuk yang mengaku realis, sebenarnya  tak  punya isi. Mengaku kaya, tapi tak berharta.Yang dibawa hanya bilangan nol. Ruangan kosong.
     Dengan desirnya yang  lembut,  angin tenggara dan  ombak  alun   pesisir Konang  masih saja bersayu padu  menyapu bibir pantai, dan  sama-sama  ikut bersaksi. Ya bersaksi.***
    
     Dari arah angkasa, ada dua burung Gereja yang  mengikuti  laku dan lakon  tokoh  kita ini . Mereka itu terdiri: lbu dan anak semata wayangnya.
     “Bu ngapain kok kita terus ngikuti lelaki jelek itu?”
     “Ini untuk pembelajaran hidupmu kelak nak. Bahwa dalam teori hidup belum tentu, bisa teraplikasikan” Jawab Ibunya dengan sedikit bergeser merapat  keputranya yang bertengger di atas dahan  pohon Dadap dan diujungnya telah ber bunga: satu kuncup dan yang dua merekah, satunya lagi layu, sebentar lagi akan gugur diatas pasir.
     “Lha pembelajaran kan seharusnya di sekolahan bu..?”
     “Gini lho .. “ Ibu Gereja, bergeser  mendekatkan paruhnya ke telinga putranya. Kemudian kembali melontarkan kata-kata lagi
      “ Benar juga tanyamu  .. Tapi, disekolah  hanya tempat pembelajaran formal saja. Bahkan, di sana  ber tebaran teori-teori sampai melangit bahkan  menggudang dan menggunung. Sayangnya,  itu semua sangat  minus  dengan pelaksana kehidupan. Sehingga, setelah lulus sekolah banyak yang terbebani  oleh onggokan rencana dan pola tanpa  ada kenyataan hidup. Akhirnya, muaranya  sampah-sampah keputus asaan, setress dan  frustasi  dari jutaan para generasi. Aku ingin putraku...” Percakapan itu berhenti. Karena , dari arah yang berlawanan  ada dahan pohon Akasia  kering,  jatuh diterpa usia dan menimpa daun Pandan muda. Lalu, pupus  pepes  bersamaan jadi pupuk penyubur bumi, demi regenerasi dikemudian hari.
     Sejenak hening           

    “Ibu menginginkan aku gimana?”
     “ Jangan bernasip seperti lelaki  itu.”  Dengan melontarkan kata sayup, nyaris tak terdengar, Ibu pun mengisyaratkan telunjuk sayapnya yang sebelah  kanan ke lelaki yang  sedang simpuh diatas pasir.
     “Ngapain lelaki  Lusuh itu ..? Mereka itu siapa  bu..??? Belum sempat  ada penjelasan yang keluar dari bibir ibu, anak Gereja tanggung itu kembali bertanya bertubi-tubi dengan mengernyitkan  jidatnya. Kemudian,  yang sebelah sayapnya  dikibaskan, lantaran   ada nyamuk  Pandan mbeling  yang bermulut runcing mau menungging di dada yang  belum  berbulu sempurna. Nyamuk itu pun kabur, dengan   perhitungan keselamatan yang  diindahkan terlebih dahulu. Ketimbang, setetes makanan pengisi perut semata. Resiko nyawa.
     “Lebih merapat sini Nak..” Dengan patuhnya, anak burung Gereja itu mendekatkan  diri.  “ Lelaki itu  sebenaranya sebagian dari  tokoh  yang telah memerdekakan pertiwi ini.  Ia merasa terjepit  dari bumi  pantai Pelang yang  banyak menyimpan tambang. Sayang, ia tidak terima adanya . Ia tidak terima dengan jiwa sederhana. Hanya, lantaran anak buah sepejuanganya, ada  yang meraih sukses dengan bermandikan duniawai. Padahalal, orang yang paling merdeka itu adalah ya tokoh yang kita ikuti  ini. Kemerdekaan yang diraih dengan memanggul senjata, sebenarnya sekarang inilah puncaknya. Tetapi,  malah tidak dinikmati. Itulah sebabnya nak, maka kamu saya ajak kesini. Supaya dapat ilmu kehidupan yang sesungguhnya. Bukan sampah teori yang menggudang  disekolah.
     “Hemmm, tokohnya kosong ya bu?”
     “Ya lelaki tak berarti nak...”
      Dialog antara anak dan ibu terputus.  Lantaran *terinfasis oleh ulah Tokek Lelaki binal  yang terbakar api asmara pada  betinanya. Si wanita tidak mau.Mungkin nalurinya mengatakan sudah bunting.  Rahimnya sudah terisi janin. Sehingga, lupa kontrol  “Krossakkk.!!!  Keduanya pun  terpeleset,  jatuh berpelukan. Untung, dewa penyelamat masih melindungi. Sehingga, tersungkurnya  tidak  menimpa cadas. Tapi, di tengah rerimbunan semak  yang berembum. N u w u n
*** Panggul-Trenggalek 17 Agustus 2013
TEMBANG DHUKUH PURUNG


                                                                                                       *Infasis = pusat perhatian

   
    
    
    
      

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                               

       
    
                                                                                                                                                   


              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar