BURUNGNYA BOSS WARCENG
Entah gimana
mulanya.
Warung Cengir atau yang sudah terkenal dengan nama warceng
itu kok sepertinya penjualnya hanya laki-laki saja. Apa ya emang anti cewek,
atau gimana? Tapi kayaknya, ya tidakah. Masalahnya, kemarin ketika saya nyantai melintas di muka warung, melihat ada sosok wanita yang masuk ke
warceng. Entah, kalau itu bukan Penjual. Tapi, malah pembelinya. Mari sekarang mencoba melihat-lihat, di atas muka warung terpampang baleho raksasa.Te
Padahal takkala ada orang-orang yang mau beli di Warceng, biasanya burung berparuhkan
panjang itu dengan lantang bertembang. Nyaring
suaranya, bak lantunan Nyi. Condrolukito ‘waranggono’ di era Ki dalang Narto
Sabdo. Jangankan gadis remaja belia, tidak sedikit para janda dibuatynya terkesima
mendengar
tembang kicaunya yang menyayat jiwa.
Menggapai relung nurani. Burung yang
ditempatkan disangkar sutra itu memang
pantas untuk hiyasan atau pajangan rumah mewah. Karena, di
samping kicaunya yg merdu, juga punya warna
hitam kelam, dan menawan.
Sebenarnya saya juga tertarik untuk mendaftarkan diri.Tapi, mengapa yang bisa
mengikuti kontestan kok hanya wanita? Dalam hatiku menggerutu. Kurang setuju.Ini diskriminasi dan musti diakhiri. Dengan menerbangkan
imajinasi, tidak terasa jemariku mengusap-usap kumis
yang mulai menebal secara alamiah. Rasa- rasanya dengan tumbuhnya
rambut diatas bibir, kok sulit untuk mengelabuhi booss-nya
Warceng yang punya perawakan tinggi besar kayak sosok Bima tokoh di Mahabarata. Alkitab sastra, mahakarya
Viyasa dari India. Disamping itu, boss kaya harta yang juga berpenampilan nyentrik ini, kabarnya juga
senang koleksi bunga: mulai bunga plastik di; Mol, Plaza, Salon hingga bunga alam yang
bermadu dan beraroma dari Gunung dan
Kampung.
Aku terperanjat, lalu menengok. Kala dari arah belakang ada wanita separo baya berambut ungu mencolek mesra.
“Mas.. mas.. Warceng buka
pendaftaran lagi ya?” Dari pertanyaan wanita bertingkah genit itu, aku pun berkesimpulan. Bahwa, warceng sering
membuka kontes sayembara kayak gini ini.
“He eh.Tapi syaratnya…?”
“Hiya aku sudah baca kok syaratnya Mas. Sepertinya saya ada bakat, juga punya hoby merawat
burung. Dirumah aku dibelikan burung Unta oleh mantan kekasih. Mulai menyediakan minum, kasih
makan sampai membersihkan sangkarnya saya kerjakan sendiri dengan riang, tanpa keluh.
Kita saling sayang, kita penuh kasih. Sehingga, hampir
setiap pagi, burung berpunggung botak itu setya berkicau. Menari dan menyanyi. Membangunkanku dari mimpi. Kicaunya pun semangat, dan berarti. Mungkin
saja banyak setamina dan energi. Karena, hampir setiap sore minumnya aku belikan
STMJ di timur Makam Pahlawan sana hehehe he he he…”
berkata begitu wanita girang itu dengan menebarkan tawa yang dipaksakan. Dan menawarkan senyuman yang
di buat-buat. Aku muak. Tapi biar tidak tersungging, eh tersinggung aku juga menerimanya dengan ganti menyajikan senyum ringan.
“ Lha sampean dari…?”
“ Ngalam.” (Malang
= dibalik ). Kelihatnya wanita ini juga mengerti bahasa gaul dari Malang.
“Terus,
nama Mas..?”
“Emyani”
“kok kayak nama wanita saja. ”
“Iya, tapi kan
tidak ada larangan. Terus, nama mbak ..?”
“Peri Nglarani.”
“Hua ha ha itu nama asli atau…”
“Iya, tapi kan
tidak ada larangan.juga.”
“Ah ngekor”
“ hua ha ha ha…!!!”Bersamaan melepaskan tawa keras. Sampai Belalang Kayu yang
masih malas bangun dan masih bertengger di daun Johar pun terkejut. Lalu
dengan nalurinya, sepontan terbang ke angkasa raya.
Tidak selang lama, pengumuman yang bertuliskan huruf-huruf balok itu dibanjiri oleh para pendaftar. Anehnya, setelah baca
pengumuman kebanyakan senyum-Senyum. Malahan tidak jarang juga yang berlanjut dengan
berbahak-bahak dengan memegang buncit
perutnya. Padaha, aku masih ingat, kalau sekarang ini tidak malam jum’at.
Malam keramat. Malam yang konon katanya, banyak bangsa lelembut yang gemar memasuki raga manusia kosong. Entahlah, kalau memang ada yang
‘mbaurekso’ Tugu kebanggaan Ngayogakarto
Hadiningrat itu kemudian merasa terganggu oleh riuh serta gaduhnya para pendaftar
Warceng. Kemudian ganti mau
membalas dengan caranya sendiri. Entahlah, aku kurung faham juga.
Seperti biasa, setelah menapaki sepanjang
jalan Mangkubumi-Maliobboro--dan tentu tidak lupa pula, beli koran Kedaulatan
Rakyat atau KR-- kemudian saya menuju
Sarkem, tempat saya menyewa Losmen MM atau Murah Meriah. Sekedar tahu. Sarkem
merupakan pasar kembang di Yogja. Kembang ayu-ayu di sarkem, tidak terlalu
pelit senyum. Dari kamar yang catnya sudah muram, lantaran memang sudah ‘usurd’
karena dimakan usia itu aku mengembangkan imajinasi serta memerah pikir.
Alhandulillah, tidak begitu lama aku sudah menemukan idea gemilang. Baru tergambar
dalam ingatanku, kalau dulu saya lama bergabung dalam grop ludruk “Tobong Budaya”.Di dalam pentas teater tradisional, saya sering
kebagian peran wanita. Karena di dalam sandiwara semua anggotanya pria, maka
semua tokoh wanita diperankan oleh kaum
laki-laki. Setelah pergelaran usai, saya sering juga kena sasaran cium oleh
sesama pemain. Malah kadang
penonton juga ada yang nekat mendekap dengan “singak singuk” ngesun pipiku. Katanya, aku
cantik. Sebenarnya aku geli dan risih juga lho. Tetapi, lama- lama juga
terbiasa. Dan asik juga kok.
Tekatku sudah membaja. Semangat pun membara berkobar
untuk bisa menjuwarai sayembara dari
boss Warceng. Kemudian, aku kembali keluar dari kamar losmen Sarkem. Setelah
kesepakatan harga dengan pengemudi, saya pun cepat naik jok Andong berkuda dua menuju jalan
Moliobboro. Jalan teramai di kota budaya. Aku mencari toko tempat menjual
peralatan-peralatan: Mulai dari BH yang berukuran super kolosal, Bedak hingga
Lipstick murahan untuk pemanis bibir. Bereslah. Dengan over dosis, saya pun
berdandan layaknya wanita. “Hehehe he
he..”Dimuka cermin, aku tertawa sendiri. Kembali terbayang masa silam, saat gemerlap
di atas panggung ludruk dan ketoprak.
***
Test dimulai dengan wawancara. Di babak pertama saya
mengeluarkan jurus suara alto. Tidak ada rintangan, dan mulus untuk masuk test
berikutnya. Banyak konstentan lain, yang
berguguran. Luruh, tidak berdaya melawan suara manja dan tingkah
kegenitanku. Saya tersenyum.Dalam hati, Lha wong saya dibesarkan dalam mental
panggung. He he he... kalau hanya test begini sangatlah ‘cetek’, kecil dan sepele.
Sepintas, aku mencoba melirik Boss Warceng. Beliau pun tersenyum, dengan
mengangguk-angguk.Memompa semangat dan percaya diriku.
Akhirnya dari 999 pendaftar, hanya
aku dan wanita dari Bendosulur yang masuk finalis.Peserta yang lain sudah
banyak yang meninggalkan arena, dengan meninggalkan hati ‘dongkol’ dan kekecewa.
Menghadapi lawan yang tinggal satu, aku semakin yakin dan bernyali. Apalagi
kalau saya perhatikan tandingku: Pinggul dan Pantat kalau untuk bergoyang ya
jelas bahenol dan hot saya. Begitu juga Payudara, juga terlihat lebih super
payudaraku. Kecerdasan dan ketajaman pisau analisa, saya tidak sombong.
Pernah berguru khusus pembelajaran teologi ke Prof. Vans Keplegh Gonk. Untuk
test terkhir ini,disampng yakin. Sudah jauh dari rasa bimbang dan ragu
Kedua finalis, kemudian di lombakan untuk memberikan kasih dan sayang merawat burung. Knyataanya, sayalah yang trampil dan
cekatan. Sehingga, dengan nilai yang maksimal. Lawanku tersingkir dan
dieliminasikan. Hore.. hore...tinggal selangkah lagi saya jadi juara.Test
terakhir, saya nanti harus bisa membangunkan dan mengicaukan burung Glatik
Wingko kesenanganya boss Warceng. Dan saya musti dapat hadiah uang banyak. Hem,
terbayang rumah dan mobil mewah.Setelah itu jadi pegawai Warceng, disamping
kondang, gajinya tentu tinggi.Jiwaku terbang.Sukmaku melayang.
Paginya aku siap-siap untuk mengikuti test sayembara terakir. Dari Sarkem
menuju kantor warceng, aku tidak lagi
naik Andong. Tapi nyewa taksi. Gengsi ah. Di tempat arena sayembara,
sudah ada Boss warceng serta burung Glatik Wingko kesukaanya. Aku melirik
sepintas, burung itu memang tidur pulas.Seperti kehilangan energi.
“ Selamat pagi boss” sembari ku tebarkan senyum.
“pagi.” jawabnya minim kata, jaga wibawa
“Test terakhir bisa dimulai boss?..”
“Oke”
Boss Warceng ternyemum dan melirik
sebentar. Burung dengan warna kelam itu ku elus lembut dan mesra. Masih saja
tak tergeming. Mungkin saja burung ini sebelumnya memang tidak terawat. Baik; minum, makan atau
sangkarnya yang hanya itu-itu saja. Monoton dan tidak pernah ada renofasi.
Sehingga, membut burung setreess yang
berkepanjangan. Supaya ada kehangatan, aku pun memberanikan diri memberikan ciuman
lembut di paruh burung yang tak berdaya itu. Matanya, mulai berkedip-kedip, mau
bangun. Meski pun, masih kelihatan malas
tak bersemangat. Sekali lagi, saya meberanikan diri dengan “cup” memberikan kecupan
mesra di keningnya yang mulai rontok
bulunya. Burung itu berdiri, dan mengepakan sayap. Tapi, masih saja belum
berkicau. Aku jengkel juga. Di depen burung keparat itu, aku pun juget dan bergoyang hot, melampui ngebornya Inul
Daratista. Bahkan, lebih super erotis lagi. Boss Warceng itu, menikmati sekali suguhan
atraksiku yang sepektakuler.
Tapi sial,
karena expresi yang berlebian. Akibatnya
“bruulll..bruull..’Bantal untuk mengganjal pantatku biar terlihat montok itu
lepas dan jatuh. Menyaksikan kejadian itu mata boss Warceng terbelalak. Saya
terkejut. Burung itu mulai berdiri dan memandangku. Sebelum rahasia terbongkar
gamblang.Aku cepet lari sekencang-kencangnya, meninggalkan arena sayembara. Anehnya, saya
dengar sayup-sayup burung Glatik itu berkicu. Tetapi, aku harus lari ya berlari
sekuat tenaga. Boss Warceng itu mau berlari mengejar. Tapi sudah tak bertenaga.
“Jeng..jeng Yani.. ja jangan lari.. Kamulah pemenangnya
sayembara ini. Jeng... jeng Yani.. berhenti..!!! berhentilah ...!!!” Aku tak menghiraukan dan terus berlari seperti angin.
Sampai di
jalan raya, saya cepat naik bus kota yang melintasi Sarkem.
“ baru tanggapan mbak..?” aku kembali terkejut. Ketika kondektur bus membangunkan lamunan. Saya baru sadar, kalau masih berpakaian wanita serta bedak dan lipsticks memenorkan roman mukaku. Dengan
memberikan uang pas, aku pun menjawab
“Iya.”
Dan yang tidak keluar di mulut “Diancuk.”.
***
Panggul-Trenggalek’ 1994
( Cerpen
dua bahasa ini, pernah diterbitkan majalah
Mekar Sari )
BUMI KEMARAU
Oleh : St. Sri Emyani
“Kaang...” Kering bibir wanita kumuh itu
bergerak didepan lelakinya.
“Ada apa Siti?” Lelaki jangkung yang
wajahnya dikuasai oleh bulu-bulu kumis dan jambang itu memandang tajam pada
istrinya.
Yang dipandang masih diam mematung, belum
sempat meluncurkan kata-kata. Dan sesekali tangan kurusnya bergerak mengusap
tubuhnya yang kurus kerontang. Diabaikannya perut dan bagian tubuh lainnya,
telanjang dalam ciuman udara siang yang terik. Sementara itu sang lelaki yang
tangan kanannya memegang sabit masih memijarkan tatapan matanya.
“Mengapa musti ragu-ragu Siti? Kalau
memang ada perkara, lekas utarakan.”
“Anu, tadi malam ada kebakaran hutan.”
Lelaki berkumis tebal dengan tubuh tinggal
kulit dan belulang itu tersenyum samar dan getir, penuh sindiran.
“Kang, kang Danu mengapa sampean tidak
menanggapi, atau kang Danu turut terlibat seperti pada musim kemarau
sebelumnya?”
Kembali lelaki jangkung dengan pakaian
kumuh itu menjulurkan senyuman getir.
“Kalau iya mau apa kamu? Perempuan itu
jangan turut mencampuri urusan lelaki, Siti.”
“Jadi kang Danu turut membakar hutan pinus
itu?”
Perlahan lelaki kumuh itu mengangguk,
sambil mengusap-usap jenggotnya yang tumbuh menebal.
“Ada apa kamu bersusah hati Siti, yang
begini ini kan urusan lelaki, perempuan itu jangan neko-neko.”
“Tetapi kang, saya khawatir.”
“Kamu khawatir saya disel, saya dihukum?”
Perempuan setengah umur itu menggoyangkan
kepala, menggelengkan parasnya.
“Bukan itu yang saya khawatirkan kang Danu?”
“Lantas?”
“Saya was-was, jangan-jangan...”
“Kamu khawatir kalau aku dipenjara. Lantas
kekurangan kebutuhan batin...”
Kembali wanita kering itu menggoyangkan
kepala.
“He, lantas apa yang kamu khawatirkan
Siti?”
“Tentang ‘penunggu’ sumber itu Kakang,
tentang penjara lama atau cepatnya, akhirnya kang Danu kan keluar juga, tetapi
tentang kutukan yang disemburkan oleh sang penunggu beringin dekat sumber itu,
aduh mengerikan sekali kang Danu.”
“Nanti dulu, Siti.”
Otot kekar itu meraih bahu perempuan
dihadapannya, dan kembali pijar mata lelaki itu memandang garang.
“Bagaimana kamu kok membawa-bawa soal
beringin dengan sumber segala, saya memang membakar hutan pinus itu dengan
teman-temanku yang sekaum dan senasib. Aku lakukan semuanya itu demi
kepentingan bersama demi perjuangan yang merata.”
“He, kang Danu menyangkut-nyangkut soal
perjuangan, soal kemerataan.”
“Kamu tahu Siti, bumi ini titipan Tuhan,
hutan pinus yang tumbuh dilereng pemangkuan kaum kita itu jelas tidak
menjajikan hidup keseharian kita. Kita tidak kenyang dijejali minyak terpentin,
dan minyak kayu pinus, kita ini butuh makan. Dan dulu sebelum hutan ini
dirombak menjadi hutan pinus, lahan-lahan tertentu dikuasakan kepada kita untuk
kita tanami padi dan ketela. Sekarang yang demikian itu tidak pernah terjadi
Siti, dimusim kemarau seperti sekarang ini, disamping kita kesulitan mencari
air kitapun dihadapkan pada perkara lain, ya kita dipanggang oleh kebutuhan
pangan yang kian menghimpit, padahal dahulu lahan itu menjajikan keseburan
untuk kita tanami padi’gogo’ sehingga pada musim paceklikpun kita punya
cadangan.”
“Kang?”
“Apa lagi?”
“Kang Danu kok jadi seperti ini sih
sikapnya.”
“Maksudmu?”
“Kakang itu kan dulu menurut lembaran
sejarah merupakan sosok pejuang yang tangguh. Jaman perang kemerdekaan kang
Danu membawa bambu runcing dan dengan gigih mempertahankan Pertiwi dari rebutan
bangsa Belanda, kaum kompeni yang menancapkan kuku-kuku penjajahannya di bumi
pertiwi ini Kang. Lha kok sekarang ‘sampean’ berbalik kiblat mengarah pada
tindak durjana.”
“Hus, kalau bicara mulutmu yang hati-hati
Siti. Kau katakan aku mantan pejuang memang benar.”
“Dan sekarang Kakang menyimpang dari
perjuangan itu.”
“Itu saya lakukan terhadap ketidakpuasan
yang aku alami sekarang ini.”
“Ketidakpuasan, mengapa kang Danu tidak
puas, bukankah sudah ada tindakan bijak dari pihak Perhutani. Penanaman Pinus
itu pun untuk kepentingan kita Kakang, untuk kepentingan bersama. Kang Danu
lihat sendiri to, saudara-saudara kita disini dapat mencari mata pencaharian,
dengan jalan meminta imbalan hasil buruh menyadap minyak pohon-pohon pinus itu.
Mengapa tindak durjana itu kang Danu ulang lagi atau...”
“Atau apa, kamu curiga.”
“Tentu Kang.”
“Jangan-jangan kang Danu itu sekedar
menjadi wayang semata, dan dalangnya ada dibelakang layar, seperti dulu...”
“Bangsat, kamu itu perempuan, tahumu uang
belanja, ngurus dapur dan melayani suami, itu saja. Lain-lain kamu jangan
banyak bertanya Siti, yang begini urusan lelaki.”
“Kaaang..!”
Lelaki kumuh itu melangkah tegak dengan
pandangan mata memijar garang, segarang matahari diterik kemarau.
“Kaang..!”
Sejurus lelaki kumuh itu menoleh
kebelakang.
“Ada apa lagi Siti?”
“Saya takut Kang, sungguh saya merasa
ngeri, jangan-jangan yang menjadi kekhawatiran sanak saudara kita disekitar lembah
Purung ini akan menjadi kenyataan.”
“Tentang hutan yang terbakar itu lagi.”
“Bukan.”
“He.”
“Saya khawatir juga para’puak’lainnya pun
merasa was-was, jangan-jangan ‘penunggu’sumber itu benar-benar mengamuk, dan
mengutuk kita, sebab setelah pohon beringin yang menjadi pagar mata air itu
dibakar semak-semaknya, lantas beringin sendiri tumbuh layu, dan mata airnya
kini berkurang, jangan-jangan yang begini ini ada hubungannya dengan pembakaran
yang kang Danu lakukan itu. Sungguh kang aku merasa ngeri dan was-was,
bagaimana kalau sang ‘penunggu’ itu benar-benar mengutuk penghidupan kita,
bagaimana kalau sumber air yang menjadi kebanggaan kita disetiap kemarau
panjang itu berhenti menyemburkan air. Akan kemana lagi kita cari kebutuhan air
bening itu.”
“Sebentar Siti. Tentang beringin yang
menjadi pagar sumber mata air itu aku tidak pernah mengganggu.’
“Tapi Kang, tadi kang Danu telah mengaku,
kakanglah yang membakar hutan itu dengan rekan-rekan sehaluan ‘sampean’.
“Yang membakar hutan di bagian atas itu
memang aku dan teman-teman Siti, tetapi aku ini masih tahu ‘keblat’. Jadi
tentang sumber mata air itu aku tidak mengganggu gugat, termasuk semak-semak
sekitar dan pohon beringin yang menjadi pagarnya.” Sejenak lelaki jangkung
dengan tubuh kerontang itu merenung jauh. “Aneh, jadi mata air itu dibakar
orang, pohon-pohon pelindung dan semak-semak sekitarnya?”
“Siti mengangguk.”
“Tetapi yang sepeti itu aku tidak
melakukannya Siti, aku tidak membakar beringin dan semak-semak sekitar sumber
itu. Yang kubakar itu reranting kering rerindang hutan dibagian atas, yang dulu
menjadi lahan seluruh ‘puak’didukuh ini. Aku masih sadar Siti, mata air itu
milik kerabat, milik kita bersama dan saya kira para teman-teman lain pun tidak
ada yang melakukannya. Mereka pun masih ‘waras’ dan sadar betul pohon-pohon
keramat itu menjadi bagian kita, telah menjadi sisi yang kita miliki bersama.
Sebab kalau mata air itu berhenti mengalirkan sumber, pastilah air mata kita
yang akan menggenangkan duka dan kepedihan.”
“Tetapi kang Danu, sungguh semak-semak
dekat sumber itu pun turut terbakar dan apinya pun ikut menyulut pohon-pohon
beringin besar disekitarnya. Akibatnya pohon-pohon raksasa itu pun layu dan
ranggas. Kita semua sangat was-was Kang, sangat khawatir jangan-jangan
‘penunggunya’ akan murka dan mengutuk kita dengan sesuatu yang mengerikan.
Sudah ada dua orang anak yang sakit panas Kang, menurut khabar dua bocah itu
pun terkena ‘teluh’ dari sang penunggu sumber air itu.”
Sunyi. Angin siang berkelebat di pohon-pohon,
menghamburkan reranting dan dedaunan kering serta apa saja yang bisa
diterbangkannya.
Lelaki kumuh itu merunduk.
“Kaang...”
Sejenak ia mendongak, menatap istrinya
dengan pandangan lurus. “Benarkah kang Danu tidak membakar semak-semak dan
pepohonan beringin raksasa penunggu sumber itu Kang?”
Mengangguk.
“Lantas siapa yang melakukannya, siapa
yang bertindak sekeji itu?”
Diam, tak ada kalimat jawaban, hanya
terdengar helaan nafas berat, lelaki kerontang masih tepekur memandang bumi,
dengan sinar layu.
“Kaang...”
Kembali mendongak.
“Saya percaya kang Danu tidak melakukan
siksaan pada sumber itu, pada para makhluk halus penghuni pohon-pohon beringin
itu, saya percaya Kang Danu tidak melakukannya. Tetapi mengapa diterik kemarau
ini, Kang Danu tega membakar pepohonan pinus yang daunnya mengering di hutan
atas itu?”
“Siti...”
“Ya Kang, aku ini istrimu, istri Kang
Danu.”
“Aku lakukan semua ini atas perintah...”
“Perintah siapa Kang Danu, perintah yang
dulu itu, dari orang-orang yang menginginkan lahan itu?”
Berat ia mengangguk. “Tetapi Siti, yang
lebih penting lagi pembakaran hutan itu aku lakukan atas...”
“Atas perintah juragan Karto?”
“Ya, tetapi yang penting juragan itu hanya
sebagai alatnya saja Siti, yang lebih penting lagi, aku lakukan semua itu atas
perintah uang, ya atas perintah uang, kukerjakan pekerjaan yang sebenarnya
mengandung resiko itu. Sekali lagi istriku, aku kerjakan semua itu atas
perintah uang, kamu tahu kan Siti, kemarau musim ini teramat panjang, teramat
garang membakar penghidupan. Orang-orang macam aku harus mencari pelarian yang
tepat untuk mendapatkan sesuap nasi, untuk melangsungkan kebutuhan hidup.”
“Tetapi Kang Danu, mestinya mengingat
resikonya.”
Semua sudah saya hitung Ti, aku kan tidak
akan lama dipenjara dan nanti sekembaliku ke bumi ini, hujan biasanya telah
menetes, sementara ini kau cukup kubekali dengan uang upah, sebab disana,
dipengap ruang penjara kebutuhan perutku dan juga teman-teman sejuang pasti
terpenuhi, aku lakukan ini karena kebutuhan ekonomi yang mendesak, yang
menjerat kita istriku.”
“Kaang, Kang Danu, apakah semua yang Kang
Danu lakukan itu atas perintah juragan Karto yang merasa iri bekas lahan
cengkehnya di desa dengan tanaman pinus oleh pihak perhutani.”
“Bukan.”
“Bukan? Lantas siapa yang memerintahkan
kang Danu melakukan semua ini.”
“Oknum-oknum tertentu dikalangan pegawai
Perhutani sendiri Siti.”
“Astaga, jadi?!”
“Seet, tahukah kamu istriku, bahwa hutan
yang terbakar itu kelak akan dianggar oleh pemerintah dengan hitungan yang
tidak sedikit. Di situ para oknum tertentu biasanya menggunakan kesempatan
dengan untung yang berlipat ganda, jadi mereka kerjakan orang-orang sepertiku,
tidak rugi istriku.”
“Akh Kang Danu, aku kira juragan Karto
yang membikin usaha macam itu, jadi ada pihak lain yang lebih...”
“Sudah- sudah jangan keras-keras, kamu
kira juragan Karto pun tidak ambil bagian dalam soal bakar membakar semak-semak
ini, tuh yang kau resahkan, yakni tentang pembakaran sumber itu memang juragan
Karto yang melakukan, aku yakin bos gendut itulah yang membakar semak-semak di
sumber mata air, pertama juragan yang nekat itu ingin mengambil keuntungan dari
kayu-kayu raksasa itu, untuk membangun rumah-rumah yang diborongnya dikota
sana.”
“Jadi Kang Danu, kalau begitu orang-orang
itu semuanya sibuk mencari keuntungan dengan jalan gila masing-masing.”
Mengangguk. “Dan yang lebih penting lagi
istriku, kemarau musim ini lebih panas membakar mata hati umat manusia, lebih
garang memanggang jiwa, manusia sudah semakin sibuk dengan ego-nya
masing-masing, tanpa mempedulikan akibat yang ditimbulkan, yang dilakukan.”
Sunyi, hanya suara angin yang berkelebat
menjilat dedaunan, menjilat bumi yang kian ranggas mengering. ***N u w u n
Panggul
–Trenggalek
(cerpen ini pernah dimuat harian SURYA
minggu)
LELAKI TAK BERARTI
Oleh: St. Sri
Emyani
“Merdeka..!!!!.”
Lelaki absurd itu berteriak sontak,
sambil mengepalkan kedua tanganya.
Suaranya pun menggelegar dan menggaung hingga
puncak gunung Sanggung, membelah
suasana sepi di bumi pantai. Pesisir
Joketro bawah tlatah bumi Panggul
pagi itu lengang dan sunyi . Hanya angin tenggara yang meniupi daun pandan, yang usang luruh. Gugur,
menyelimuti tanah dibawahnya yang tidak
gembur. Lantaran air yang jatuh dari
langit, hanya didapatkan kala musim kemarau pergi dan
penghujan pun sebagai pengganti. Atau saat malam tiba, udara dingin membawa
kabut dari ranting cemara Udang . Lalu, paginya ada embun yang menetes dari
pucuk tunas daun muda , lalu luruh. Samun
kembali.
Kemudian pria lusuh itu meludah
ke bumi.
Kakinya yang telanjang dihentakan tiga kali
“ Juhhh..!!!!”
Setelah dipastikan tidak ada makluk lain, lelaki itu memusatkan
perhatian penuh, tanganya memegang paser dari selangkangan, lalu mengarah ke pertiwi. Sebentar memandang bumi sepi. lalu “Currr..” dari liang
kecil tengah memancarkan air mengarah ke bumi pesisir, bumi pantai yang
kering, “lap” habis dihisap bumi kerontang.
Sementara: batu Gamping, batu
Paras dan batu Marmer yang ada disampingnya hanya diam, mematung dan membisu. Begitu juga,
Gunung Sanggung yang tidak mengerti akan persoalan serta masalah yang
diemban lelaki gimbal hanya terdiam merenung dan mematung. S u w u n g. Ya di dalam kesunyian mungkin gunung itu
menyesali nasibnya sendiri. Di dalam
sastra lesan, dulu gunung dalam latar
cerita ini sebagai benteng dan pagar: pantai Konang, pantai Joketro dan pantai Pelang. Bahkan, dalam sejarahnya pun gunung
Sanggung sangatlah digdaya dan penuh kharisma dengan
gimbal dan gondrong rambutnya. Sayang, ketika datang orde canggih,
gunung yang punya mitos menyimpan dan
mengandung Berlian, intan dan Emas sebesar kerbau berkubang bahkan segede Gajah
hamil itu sekarang kering kerontang dan
tandus. Para cukong dan blandong datang dengan: memangkas, membabat, menjarah
serta memerkosanya hingga tidak lagi perawan. Mulai; alis, bulu mata, kumis, jenggot, ketiak, bulu kelamin serta bulu jempol kaki pun di gundul
tak tersisakan. Sehingga, para sato hewan juga bangsa kutu-kutu
dan belalang yang biasanya makan, tidur, kawin dan selalu merdeka sama kabur mencari rimba raya. Gunung sanggung tidak lagi sanggup menerima: keserakahan, ketamakan dan ambisi. Dari kaum yang menamakan dirinya makluk mulia.Ya paling mulia dijagad raya ini. “cuh”
“Hem, pertiwi”
Lelaki absurd itu
merunduk tanpa arah pandang yang tertuju. Air matanya tersumbat sukma yang
kerontang, ‘jagad rad pramudita’ pun ikut
lengang.
“Duh, Gusti”
Lelaki absurd itu masih mampu
menyebut yang membuat hidup dan kehidupan. Kemudian menengadah ke langit.Tangan
bersilang di dada. Sementara, terik yang mau memanggang bumi pun tidak akan melekangkan
kekosonganya. Mereka telanjang. Karena, dunianya memang sudah ditelanjangi oleh bentuk-bentuk yang mengaku realis,
sebenarnya tak punya isi. Mengaku kaya, tapi tak berharta.Yang
dibawa hanya bilangan nol. Ruangan kosong.
Dengan desirnya yang lembut, angin tenggara dan ombak alun pesisir Konang
masih saja bersayu padu menyapu
bibir pantai, dan sama-sama ikut bersaksi. Ya bersaksi.***
Dari arah angkasa, ada dua burung Gereja yang mengikuti
laku dan lakon tokoh kita ini . Mereka itu terdiri: lbu dan anak
semata wayangnya.
“Bu ngapain kok kita terus ngikuti lelaki jelek itu?”
“Ini untuk pembelajaran hidupmu kelak nak. Bahwa dalam teori hidup belum
tentu, bisa teraplikasikan” Jawab Ibunya dengan sedikit bergeser merapat keputranya yang bertengger di atas dahan pohon Dadap dan diujungnya telah ber bunga:
satu kuncup dan yang dua merekah, satunya lagi layu, sebentar lagi akan gugur
diatas pasir.
“Lha pembelajaran kan seharusnya di sekolahan bu..?”
“Gini lho .. “ Ibu Gereja, bergeser mendekatkan paruhnya ke telinga putranya.
Kemudian kembali melontarkan kata-kata lagi
“ Benar juga tanyamu .. Tapi,
disekolah hanya tempat pembelajaran
formal saja. Bahkan, di sana ber tebaran
teori-teori sampai melangit bahkan menggudang
dan menggunung. Sayangnya, itu semua sangat
minus dengan pelaksana kehidupan. Sehingga, setelah
lulus sekolah banyak yang terbebani oleh
onggokan rencana dan pola tanpa ada
kenyataan hidup. Akhirnya, muaranya
sampah-sampah keputus asaan, setress dan frustasi dari jutaan para generasi. Aku ingin putraku...”
Percakapan itu berhenti. Karena , dari arah yang berlawanan ada dahan pohon Akasia kering, jatuh diterpa usia dan menimpa daun Pandan muda.
Lalu, pupus pepes bersamaan jadi pupuk penyubur bumi, demi
regenerasi dikemudian hari.
Sejenak hening
“Ibu menginginkan aku gimana?”
“ Jangan bernasip seperti lelaki itu.”
Dengan melontarkan kata sayup, nyaris tak terdengar, Ibu pun
mengisyaratkan telunjuk sayapnya yang sebelah kanan ke lelaki yang sedang simpuh diatas pasir.
“Ngapain lelaki Lusuh itu ..? Mereka
itu siapa bu..??? Belum sempat ada penjelasan yang keluar dari bibir ibu, anak
Gereja tanggung itu kembali bertanya bertubi-tubi dengan mengernyitkan jidatnya. Kemudian, yang sebelah sayapnya dikibaskan, lantaran ada nyamuk
Pandan mbeling yang bermulut runcing mau menungging di dada
yang belum berbulu sempurna. Nyamuk itu pun kabur,
dengan perhitungan keselamatan yang diindahkan terlebih dahulu. Ketimbang, setetes
makanan pengisi perut semata. Resiko nyawa.
“Lebih merapat sini Nak..” Dengan patuhnya, anak burung Gereja itu
mendekatkan diri. “ Lelaki itu sebenaranya sebagian dari tokoh yang telah memerdekakan pertiwi ini. Ia merasa terjepit dari bumi
pantai Pelang yang banyak
menyimpan tambang. Sayang, ia tidak terima adanya . Ia tidak terima dengan jiwa
sederhana. Hanya, lantaran anak buah sepejuanganya, ada yang meraih sukses dengan bermandikan
duniawai. Padahalal, orang yang paling merdeka itu adalah ya tokoh yang kita
ikuti ini. Kemerdekaan yang diraih dengan
memanggul senjata, sebenarnya sekarang inilah puncaknya. Tetapi, malah tidak dinikmati. Itulah sebabnya nak, maka
kamu saya ajak kesini. Supaya dapat ilmu kehidupan yang sesungguhnya. Bukan
sampah teori yang menggudang disekolah.
“Hemmm, tokohnya kosong ya bu?”
“Ya lelaki tak berarti nak...”
Dialog antara anak dan ibu terputus. Lantaran *terinfasis
oleh ulah Tokek Lelaki binal yang
terbakar api asmara pada betinanya. Si wanita
tidak mau.Mungkin nalurinya mengatakan sudah bunting. Rahimnya sudah terisi janin. Sehingga, lupa
kontrol “Krossakkk.!!!’ Keduanya pun terpeleset,
jatuh
berpelukan. Untung, dewa penyelamat masih melindungi. Sehingga,
tersungkurnya tidak
menimpa cadas. Tapi, di tengah rerimbunan semak yang berembum. N u w u n
*** Panggul-Trenggalek 17 Agustus 2013
TEMBANG DHUKUH PURUNG
*Infasis
=
pusat perhatian



Tidak ada komentar:
Posting Komentar