PAGER AYU
(1)
Oleh: St. Sri Emyani
Bumi yang ku injak
serasa bergoyang dan pandang mataku, oh, pandang mataku serasa buta menembus
benda-benda dunia yang serba mati, serba semu dan tak berseri.
Pulang dari rumah sakit aku benar-benar kalut. Aku bergegas dan kini yang
ada di benakku adalah Jono. Ya, satu-satunya yang harus kutemui dan kuajak
membicarakan perkara ini adalah Jono, hanya Jono satu-satunya. Meskipun, aku
tahu pembicaraan yang akan berlangsung dengan adik sepupuku itu akan menemui
jalan buntu, tetapi ketika pikiranku tengah membentur batu-batu hidup yang menenarkan
itu, aku memang harus segera menemui lelaki muda yang berasal dari keluaarga
adik ibuku itu.
“Mbak Utami, kenapa kau Mbak?”
Aku menggeleng, kembali ku ulang nama adik sepupuku itu, tetapi jawaban
yang kuterima tetap seperti tadi.
“Barang kali mas Jono ke Kampus Mbak, ada apa sih kok sepertinya..?”
Aku merunduk, dan selanjutnya pamit pada pemuda rambut panjang, yang ku ketahui
sebagai kawan kental adik sepupuku itu.
Sesampai di rumah kontrakan, segera kulempar tubuh. Dan kali ini, aku
benar-benar tak kuasa lagi menahan beban yang kusandang, maka puncaknya air
matakupun menggenang. Aku terisak.
Ya Tuhan, mengapa yang seperti ini menimpa pada diriku, aku tak habis
mengerti, mengapa ini mesti terjadi, sambil menahan isak kuraba perutku,
kemudian kuremas-remas. Meskipun begitu ganjalan deritaku tak kunjung lepas.
Ketika pintu diketuk, baru aku berjingkat, kubenahi kusut rambutku. Aku
mengira yang datang pastilah Mbak Tifa, kawanku satu jurusan yang memilih
kontrak di rumah sebelah.
Sejenak aku termangu, kusisihkan pedih yang menikam dada perempuanku,
tetapi tetap yang bernama kemelut itu begitu lekat mengendap di seluruh dada.
“Mbak Tami, Mbak Tami.....!”
Mendengar suara itu, meski sedikit dadaku terasa agak lega, ya, suara
itu kepunyaan Jono adik sepupuku. Tanpa banyak pertimbangan pintu kubuka dan
lelaki muda itu segera kugiring masuk.
“Ada apa Mbak, tadi di Kampus aku ketemu Jarot, katanya Mbak tadi ke
kosan, Mbak menangis? Benar, ya, Mbak Tami menangis, ada apa sih?
Aku diam, kuseka titik-titik air bening yang tiba-tiba saja kembali
membanjir di kedua pipiku.
“Ada apa sih Mbak, kenapa?
Aku terisak
“Mbak Tami!”
Tak kupedulikan lagi, aku kini kembali hanyut dalam kepedihan.
“Mbak Tami, ada apa sih Mbak, ada apa?”
Mendadak aku ingin menampar pipi adik sepupuku itu, mendadak aku ingin
mengumpat dan menudingnya sebagai biang keladi yang menciptakan malapetaka.
“Mbak Tami, kenapa sih Mbak. Kenapa?”
Kembali kulepas, kepedihan yang kutahan-tahan semenjak dari rumah sakit
itu.
Aku menangis sepuasku, sambil sesekali mengguncang tanganku.
“Mbak Tami....”
Kutepis tangisku, dan kutatap Jono dengan pandangan yang tajam.
“Kenapa?”
Entah kenapa, tiba-tiba tanganku melayang, dan pipi kiri adik sepupuku
itu pun menjadi sasaran.
“Mbak!”
Aku kembali terisak.
“Mbak Tami.... apa yang terjadi?”
Mendadak tangisku menjadi lilih, sejenak aku berdiam diri, tetapi tetap pikiranku
terasa nanar, hatiku benar-benar kacau.
“Kalau memang ada masalah, mari kita selesaikan Mbak, di sini di kota
ini kita hanya berdua.”
Aku diam
“Jon....”
“Kenapa?”
Aku menuding perutku, dan kali ini meskipun hanya sepercik aku punya
ketenangan.
“Ada apa?”
“Kamu lupa?”
Kulihat tiba-tiba Jono tertegun, dan bibirnya gemetar, suasana pun
menjadi beku seketika, beku dan mencekam sekali, keadaan di kanan kiri, dan
benda-benda itu serasa mati.
“Barusan aku dari rumah sakit, dan menurut keterangan Dokter, menurut
keterangan Dokter, aku.... aku.... ya, Tuhan!” Aku memekik histeris.
“Mbak Tami, benarkah?”
Aku diam, dan kemudian mengangguk perlahan. Ketika itu kulihat mimik
muka Jono begitu pucat, begitu pasi.
“Mbak benarkah, Mbak Tami?”
Untuk yang kedua kalinya aku mengangguk. Dan kini tiba-tiba muncul
kekuatan lain pada diriku. Kupandang lelaki muda yang duduk di depanku.
“Mbak,” lirih Jono berdesis. Dan tiba-tiba dada kami tak terbendung lagi,
tangisku pun kembali pecah diruang bisu, ruang biru yang menjadi tempatku
berpijak selama aku mencecap ilmu di kota ini.
Kawan-kawanku memang tak perlu curiga karena Jono memang adik sepupuku,
karena itu ketika tiga bulan yang lalu kami sering berjalan berdua menyusuri
tiap lekuk kota pun mereka tak banyak bertanya.
“Mbak Tami, kalau begitu....”
Aku terdiam, kupandang Jono yang kelihatan kusut itu, kini mendadak
hadir suasana lain, kalau tadi sebelum bertemu sejuta kepedihan akan kutimpukkan
pada adik sepupku itu, kenyataanya setelah melihat air muka adikku yang tampak
letih, ada perasaan iba yang hadir dicelah hatiku.
“Jono, maksudmu digugurkan begitu?”
“Ya, sebelum kandungan Mbak membesar, sebelum segalanya menjadi lain.”
Aku terdiam.
“Bagaimana Mbak?”
Aku menggeleng, “Entahlah Jon, tadi aku sudah mencoba mencicil, maksudku
aku sudah berbisik-bisik tentang itu.”
“Maksud Mbak Tami?”
“Ya, tentang itu, tetapi abortus itu berat, berat resikonya Jon.”
“Tapi Mbak?”
“Memang tak ada jalan lain yang bisa ditempuh, selain itu, seandainya.”
Ah, mendadak aku tak sanggup lagi melanjutkan kata.
“Seandainya apa Mbak?”
“Seandainya, kamu ini pacarku, atau......”
Aku terdiam, aku merunduk, kembali yang bernama kemelut itu
meletup-letup di dada perempuanku.
“Maafkan, aku Mbak.”
Aku menggeleng.
“Mbak Tami marah padaku?”
Aku terdiam.
Di luar terdengar suara Bik Jem. Perempuan tengah umur itu seperti
biasanya, tengah menawarkan dagangannya. Segera aku bergegas keluar.
“Belanja Non?”
Aku menggelang.
“Kok belum berangkat, libur ya?”
Aku berbohong, dengan jalan menganggukkan kepala, sebenarnya aku merasa
risi dengan pertanyaan itu, kenapa dia turut ngurus menanyakan tentang kuliahku,
tetapi kemudian meskipun dengan hati berat kulepaskan juga senyumku. Aku tahu
pertanyaan perempuan ‘tukang mlijo’ hanyalah basa-basi semata.
“Siapa?”
Aku tak menjawab, kemelut didadaku kembali berdentum-dentum, sesekali
ada perih yang menyayat dan kemudian aku berjingkat, aku tergagap, seperti
hilang keseimbangan.
“Mbak Tami, aku tak mengerti, mengapa, mengapa ini bisa terjadi.”
Aku diam tak bergeming, suara yang lepas dari bibir Jono itu begitu
sayup masuk keliang telingaku.
Entah pada akhirnya berapa orang Dokter kudatangi dan kemudian
menggelengkan kepala. Mereka rata-rata menjawab dengan alasan yang sama, tak
mau menuruti keinginanku, padahal aku benar-benar membutuhkan, padahal aku
benar-benar menghendaki, agar benda yang ada dalam rahimku itu lepas dan
kemudian ....
“Bagaimana Mbak...?”
Aku menggeleng, seperti telah lepas kekuatanku, seperti hilang
pertahananku, aku benar-benar tak tahu lagi musti mengambil jalan yang mana.
“Mbak, bagaimana kalau kita pergi kerumah dukun.”
Aku tertegun. Meskipun aku dilahirkan dari sebuah kota kecamatan yang
terpencil dan agak sunyi, aku memang kurang biasa berhadapan dengan semacam
dukun dan paranormal. Maklum di daerah asalku, kedua orang tuaku termasuk
keluarga ‘the have’, termasuk keluarga terpandang, karena itu tradisi yang
sering berlaku disekitar keluargaku pun tradisi yang lebih mapan, lebih elite,
dan lebih terpandang.
“Bagaimana Mbak?”
“Jangan.” Aku berdesis lirih.
“Tetapi Mbak Tami, kan itu semakin hari semakin tak kecil?”
“Aku tahu Jon.”
“Lantas?”
Lurus mataku ke depan, kata-kata Jono seperti suara-suara yang samar dan
sayup kemudian terpelanting dari rongga telinga.
“Mbak, kenapa Mbak Tami diam?”
“Habis mau bagaimana?”
“Kan kita bisa usaha Mbak?’
Aku mendelik. “Kamu pikir yang kulakukan itu main-main Jon, kan kamu
tahu hampir semua dokter menjawab dengan kepastian yang sama, mereka semua tak
mau melakukan abortus.”
“Barang kali mereka tak mengetahui persoalan kita.”
“Maksudmu?”
“Mereka kan tak mengetahui bahwa.....”
“Gila!” Mendadak aku memekik geram, kamu pikir aku lantas untuk kubuka,
kamu pikir aku sudah begitu gila, sehingga mengungkapkan permasalahan ganjil
yang pernah ....” Aku tak kuasa lagi menahan gejolak dadaku.
“Mbak, Mbak Tami.”
Aku mendongak.
Kulihat Jono menggeleng-gelengkan kepala, aku tak tahu pasti apa
maksudnya. Yang kuketahui Jono kemudian merunduk.
“Entahlah Jon, bagaimana jadinya kalau persoalan ini sampai kerumah, aku
tak bisa membayangkan!”
“Karena itu Mbak, sebaiknya mari kita berusaha dulu, kita coba untuk...”
“Menggugurkannya?”
Jono mengangguk.
Aku tercenung.
“Baiklah Jon, tetapi terus terang kalau ke dukun aku merasa tak sanggup,
aku tak punya nyali.”
“Lantas kemana Mbak, kalau bukan ke jalur itu?”
“Barang kali ada pemikiran yang lain Jon, ada jalan lain yang bisa
memberi penerang.”
Menggeleng.
Tiba-tiba pintu diketuk, aku bergegas.
“Surat Mbak?”
Ada secuwil rasa riang yang
singgah di dadaku, segera kusisihkan luka yang mengganjal dadaku, kuulurkan
senyum meskipun di dadaku ada beban yang membelenggu.
Ketika tukang pos itu berlalu, dan benar juga,dari bapak dan ibu di
desa. Setitik rasa riang menggamit hati wanitaku, biasanya satu atau dua hari
berikutnya wesel kiriman yang dari rumah datang. Meskipun kiriman yang lalu
belum habis, tetapi ditengah suasana rancu yang kuhadapi sekarang ini, aku
memang memerlukan banyak teman, dan teman itu berupa uang. Aku sadar bahwa
kemelut yang kuhadapi di kota ini memang memerlukan banyak biaya. Apa lagi
kemelut yang kusandang itu termasuk kemelut langka dan barang kali di kota ini
hanya aku seorang yang mengalami, menahan perut mual dan ingin muntah, karena
ulah seorang lelaki, yang lebih gila lagi, lelaki yang berbuat itu....
Mendadak teringat perutku, aku kembali didera luka, sedih dan suasana
kalut kembali menyelip ke celah hatiku.
“Mbak Tami, ada apa, ada apa
Mbak?”
Aku menggeleng, lesu.
“Ah, kukira ada khabar apa, surat dari mana?” tanpa menunggu jawaban
dari bibirku, Jono langsung meraih sampul surat kemudian diteliti.
“Oh, aku pikir surat apa, tahunya dari rumah.”
*
Senja mewarna putih, seperti kemarin , langit senja memuntahkan titik
rinai. Di rumah aku termangu, sesekali kuhela nafas panjang, toh jawabannya
tetap pahit menggigit.
Sebenarnya, kalau aku mau berbaik menerima, dan sudi menggunakan
basa-basi, ada tiga kawan dekatku yang datang sebagai tamu. Meskipun aku bisa
menggunakan waktuku untuk sekedar berbincang-bincang, melepaskan kemelut beban
yang tengah kusandang.
Tetapi tidak, aku tak ingin diganggu oleh siapa pun termasuk teman-teman
dekatku. Untuk itu para karibku yang datang kerumah segera kusambut dengan
kelesuan, mereka pun pada akhirnya tanggap, dan selanjutnya memohon diri.
Hujan masih menerjunkan rinai, melalui detik di lonceng kupastikan bahwa
waktu menginjak senja, aku tahu senja itu pun seperti senja kemarin, aku musti
menyambut dengan rasa bening, dan kemudian diam, menyusun langkah- langkah yang
sanggup memberikan harapan bagi seluruh kemelut yang tengah menjadi hantu
hatiku. Membayangkan beban yang bakal kuhadapi aku benar-benar merasa ngeri dan
terkoyak, rasanya seperti di dunia mimpi aku berpijak, kenapa, ya kenapa,
sampai aku membiarkan diriku sendiri ketika senja berlangsung sekitar sembilan
puluh hari yang lalu, betapa aku merasa tertekan dan kemudian terayun, betapa
seperti aku berpijak pada arus yang serba semu, dan asing, terhadap kekasihku
sendiri, aku tak memberi apa yang kupunyai itu, apa yang kuyakini sebagai barang
berharga itu, kenapa justru kupersembahkan pada adik sepupuku, kenapa itu
berlaku, ya, Tuhan aku menjerit.
Pada gilirannya toh hanya kutukan pada diriku sendiri itu yang bisa
kulakukan, tetapi kemudian datang tuntutan lain, aku pun bertanya-tanya kenapa
selalu kemelut merayap-rayap kecelah hatiku, aku sendiri kadang diam tertegun
mengingat segala senja disembilan puluh hari yang lewat. Mengapa itu bisa
terjadi, memang kehadiran adik sepupuku, sepertinya menciptakan warna lain,
warna riang di celah sanubari tak bisa kusembunyikan. Kepada orang-orang dekat
di sebelah rumah yang kukontrak pun kukhabarkan tentang kedatangan adik
sepupuku itu. Mereka semua tahu, Jono datang untuk mengikuti tes yang diadakan
di perguruan tinggi negeri dan untuk itu rumah kontrak yang biasanya kuhuni
seorang diri, rumah yang tak seberapa luas itu diisi oleh orang lain selain
diriku, dan orang lain yang kumaksudkan adalah Jono, ya, si Jono adik sepupuku
yang tengah mengikuti saringan tes memasuki gerbang perguruan tinggi negeri.
Sebagai Mbakyu, atau sebagai kerabat dekat, tentu saja aku tak
mengabaikan kehadiran Jono, lebih-lebih aku sadar bahwa di kota tempat aku
kuliah memang belum dikenali benar oleh adik sepupuku itu, karena hanya aku pun
merelakan melepas waktu –waktu senggang untuk sekedar jalan-jalan berkota-kota
atau menyusuri lorong-lorong plaza, dan pasar menyaksikan apa yang belum
diketahui oleh Jono, sesekali pula kami nonton dan kepada Jono kusodorkan
kata-kata kagum, tentang film dan pelaku- pelakunya, tentang bintang-bintangnya
dan tentang jalan cerita. Ah, lucu sekali memang, tetapi itulah kenyataanya,
padahal dengan Tomy pacarku, sama sekali aku merasa ngeri untuk diajak
berjalan-jalan menempuh malam, tetapi dengan Jono, dengan lelaki muda yang
usianya berada satu tahun dibawahku itu, mendadak aku seperti perempuan yang
lebih banyak tahu, tentang kota, tentang suasana, dan tentang kemajuan. Di desa
memang banyak lebih berdiam diri dan mengisi lembaran hidup dengan tradisi
desa, kedua orang tuaku yang memanjakan diriku, merupakan orang-orang yang
sanggup menjadi pengayon, disamping itu ayahku merupakan lelaki yang cukup terpandang dan berada
sebagai orang nomor satu di tempat terkucil yang melahirkanku, ayah memang
disegani, maklum ayah memang punya kedudukan sebagi kepala desa Plongkowati.
Anak ayah yang cuma semata wayang, yakni diriku seorang memberi peluang dan
kemungkinan untuk melakukan pembenahan-pembenahan di bidang ekonomi, sehingga
sebelum menjadi kepala desa pun pada dasarnya kehidupan keluarga ayah boleh
dikatakan teramat mapan, ayam piaraan yang diyakini ayah sebagai barang ternak itu
memang cukup menjajikan imbalan yang lebih layak, disamping itu ayah juga cukup
trampil, dan bijaksana. Sikap solidaritasnya yang tinggi terhadap sesama warga,
ditunjang tradisi ayah dan ibu yang serba familiar, banyak memberi kemungkinan
dan peluang merebut kursi menjadi kepala desa yang melahirkanku.
Dalam hal kebanggaan, aku memang patut bangga, sebab sebelum Jono adik
sepupuku dan lahir dari keluarga adik ibuku itu menyusul ke kota, aku memang
anak bumi Plongkowati satu-satunya yang punya kesempatan melanjutkan ke
perguruan tinggi, bukan hanya itu, sebenarnya keluargaku dari rumah ayah pun
telah bermula semenjak aku duduk di bangku kelas satu SMA, kalau di sekolah
menengah pertama dahulu, ayah masih sempat mengantarkan diriku, dan pulang
pergi dari desa Plongkowati ke sekolahanku yang berjarak sekitar lima belas
kilometer, maka menginjak bangku kelas dua sekolah menengah pertama, ayah dan
ibuku memberi kepercayaan pada diriku untuk kost di salah satu rumah keluarga
kepercayaan ayah bunda. Sebagai anak semata wayang, dan sebagai wakil dari desa
Plongkowati aku memang sadar sepenuhnya, bahwa diriku merupakan duta desa,
itulah sebabnya meskipun tidak diperingkat pertama, baik di SMP maupun di SMA,
aku sempat menyandang titel sebagai juara. Akibatnya disamping ada rasa bangga
dari ayah ibuku, aku pun punya peluang dan kesempatan memasuki bangku perguruan
tinggi, dengan tidak menemui hambatan yang berarti.
Waktu bergulir, hingga dua semester, selama aku di kota aku memang
sempat menjalin hubungan, menjalain cinta dengan kawan se-Fakultasku, lelaki
yang usianya lebih tua dua tahun di atasku itu bernama Tomy, dan Tomy berasal
dari salah satu kota dari propinsi di Nusatenggara Timur. Hubunganku dengan
Tomy memang akrab, dan intim, tetapi keintiman itu tidak sampai ke luar jalur
yang telah disepakati oleh umum, kami berhubungan secara universal, melakukan
atraksi yang ada di luar normal, terus terang aku tak berani, disamping takut
dengan diriku sendiri, aku pun tak punya nyali mengadakan jalinan asmara yang
ada di luar ketentuan norma.
Sampai pada akhirnya, tragedi itu terjadi , ya, Tuhan, aku benar-benar
sulit menyusun skenario itu kembali, aku benar-benar tak sanggup mengulas masa
lalu yang terjadi akibat kelengahanku yang satu itu, sembilan puluh senja yang
lalu peristiwa itu berlangsung, dan sebenarnya mengingat yang terjadi pada
sembilan puluh hari yang lewat itu aku sudah tak punya nyali lagi, sesosok lelaki
muda yang masih saudara sepupuku, mendadak kuberi peluang mengatraksikan gejala
yang menggelora di dada mudanya, ya, Tuhan, aku benar-benar di penuhi oleh
sesak kemelut membayangkan peristiwa yang telah berjalan selama ini, aku
benar-benar kebingungan pada kenyataan yang kuhadapi, padahal perutku semakin
hari bukan semakin kecil, tetapi sebaliknya akan terus membengkak dan pada
giliranya, aduh aku menutup muka, aku tak punya keberanian yang cukup untuk
membayangkan kelanjutan yang bakal terjadi, seandainya yang kulakukan itu
bersam Tomy, mungkin aku tak sekalut ini. Tetapi lelaki yang... ah, ya, lelaki
itu adalah Jono, Jono yang adik sepupuku, dan berasal dari keluarga adik ibuku
itu yang sempat mengajakku bermain layang-layang di langit lepas, aku memang
terlalu ‘sembrono’, aku memang tak tahu diri, ketika itu sehingga adik sepupuku
yang mustinya kubimbing dan kuarahkan itu berlaku timpang, padahal yang
kuketahui tentang Jono, selama di bumi Plongkowati adalah Jono yang lugu, dan
pendiam. Lelaki muda yang usianya berada di bawah usiaku itu menurut
perhitunganku pastilah menyandang sebagai lelaki muda yang banyak kesibukan,
sebab Jono memang anak harapan, seperti halnya aku, hanya bedanya jumlah
saudara Jono lebih banyak dari keluargaku, adik Jono semua berjumlah lima,
karena tidak heran kalau menurut pengakuan Jono di Plongkowati dulu, setelah
kutinggalkan rumah Jono seperti layaknya keluargaku, ayah dan ibu memperlakukan
Jono seperti anaknya sendiri, lebih dari itu tentang biaya ke kota pun atas
sokongan ayah dan ibuku.
Aku terhentak, seperti bangun dari bumi yang sebenarnya, sungguh kemelut
itu kembali menyergap, kemelut ketika selama dua hari Jono menjadi penghuni
rumah yang kukontrak itu, sebuah rumah mungil yang banyak memberi kesaksian
tentang apa saja yang kulakukan selama di kota. Di tempat yang mirip favilyun
itu aku tinggal, kebutuhan yang berupa urusan perut memang dapat kuselesaikan
dengan jalan membeli di kantin-kantin, karena itu kesempatanku yang lain yang
lebih banyak benar-benar menjurus ke soal kuliah, ke soal pendidikan.
Tetapi kini, sudah dua senja aku memikul beban muram, dan kejadian yang
menimpa diriku itu tak lepas dengan persoalan yang dihadapi Jono, meskipun
getah itu hanya aku yang menyandang, tetapi kenyataanya Jono pun sempat
mengenyam pahitnya beban dalam kadar yang lain.
Aku terhentak, menangkap suara sayup-sayup di dua telingaku, dan
tiba-tiba ada irama ‘trenyuh’ di rongga hatiku, dengan sikap tulus aku
bergerak, kuraih air yang ada di belakang, sayup adzan itu benar-benar telah
memanggil hatiku, aku memang sempat hanyut dan tertegun.
Begitu nikmat aku bersimpuh, begitu lelap aku menghadap memenuhi
panggilan yang memanggilku, dan aku benar-benar paling memupu menghayati tiap
kepak hidup yang berlaku sekitar dua senja ini. Sebentar lagi hari akan gelap
malam, di desa kelahiranku perjalanan malam memang lebih banyak di isi oleh
suasana legam dan jelaga., sedang di kota di tempat yang kusinggahi,
warna-warna malam memang tak segelap malam di bumi desaku, warna-warna lampu
neon, dan mercuri yang menghias rumah-rumah, menghias jalan-jalan memang
sanggup menyisihkan segala kesepian, tentang rias kota itu sebenarnya yang
ingin kubanggakan pada kedatangan Jono adikku, di kota ini, tetapi kalau
kemudian irama lain yang terjadi, sungguh aku tak mengerti, sunguh itu
merupakan garis dan bait lain yang ada pada ruas jalur nasib yng kulalui.
Di luar, gaduh gerimis masih terdengar, menimpa atap menimpa genting,
menimpa daun, menimpa apa saja yang ada di muka semesta.
Masih khusuk sujudku, masih
bening diamku, tetapi sesekali masih meletup duka dan kemelut. Ya, Tuhan aku
benar-benar seperti sosok yang tersisih dari dunia nyata. Sebab kenyataan yang
kudapat dari pernyataan dokter rumah sakit yang ku kunjungi dan pernyataan itu
bukan pernyataan bohong semata, kian hari mustinya perutku akan terus
menggelembung, karena menurut keterangan dokter, aku positif.
Ya Tuhan, kembali air mataku membanjir duka dan kemelut terus melalap
benakku, kalau saja aku tak takut mati, aku lebih suka bunuh diri, agar bakal
kejadian yang mustinya lebih parah menimpa itu akan selesai, akan tuntas.
Tetapi aku pun kemudian teringat bunuh diri dengan semacamnya merupakan jalan
yang paling dikutuk oleh Tuhan, paling dilarang oleh agama manapun juga.
Sebaiknya kalau aku berdiam tanpa usaha, pasti aib dan dengan napas ejekan yang
akan tertuju padaku, akan begitu benar menghadang hari depanku.
Kupikir-pikir, aku ini memang gadis yang keterlaluan, terhadap Tomy
betapa aku berusaha rapi menjaga apa yang kupunyai, tetapi terhadap Jono, ya
Tuhan akhirnya aku menciptakan hanyut, menciptakan lelap, dan kelalaian pada
diriku sendiri. Andaikan sembilan puluh senja yang lalu aku bersikap tegas, dan
menolak ajakan gila yang terbisik di dua telingaku, barangkali kemelut yang
kusandang sekarang ini tak akan terjadi, ya, seandainya sembilan puluh hari
yang lalu, aku tidak memamerkan suasana kota ini pada adik sepupuku itu mungkin
kenyataan yang bakal mengerikan hari depanku itu, tak akan berlangsung, tak akan
terjadi.
Salahku sendiri, kenapa si Jono yang lugu itu kuajak menempuh suasana
plaza dan bangku di gedung bioskop, kenapa lelaki muda itu kulempari rias wajah
kota yang barangkali sebelumnya tak sempat diketahui, dan kenapa pula waktu itu
Jono kuajak nonton adegan film Hongkong yang sangat sensitif dan menyentuh
birahi. Kenapa, kalau saja setelah lelah berjalan itu Jono langsung kuajak
pulang dan kemudian kubiarkan memeluk mimpinya, tak akan terjadi kisah akhirnya
menciptakan onak yang mengerikan ini.
Suasana rumah ini memang lengang, dan kelengangan itulah yang memberi
peluang sembilan puluh senjayang lalu, sehingga adik sepupuku itu berlaku
curang, entah dari mana mulanya, tetapi semenjak dari gedung pertunjukan memang
telah kusaksikan ekspresi muka Jono yang penuh gambaran lain. Tampaknya sajian
film yang ada di gedung pertunjukan yang kami tonton itu benar-benar di resapi
dan dihayati oleh saudara sepupuku itu, tampaknya adegan yang diperankan oleh
Chou Yun Fa dan pasangan mainnya yang jelita itu merasuk benar dalam benak Jono
menuju ke gerbang lain, semenjak dari gedung pertunjukan Jono seperti lelap
terbuai oleh arus mimpi yang tergambar di layar perak, begitu indah dan
menawan, aku pun memang sempat takjup dan terkesima.
Tetapi aku pun tak pernah menyangka kalau kemudian di rumah yang ku
kontrak dan kuhuni selama ini mendadak Jono kemudian seperti terasuki dunia
lain, ia mendadak menggenggam telapak tanganku dan aku, entahlah seperti
mengawang, lebih-lebih setelah Jono beraksi lebih jauh, aku seperti kehilangan
keseimbangan dengan bumi yang kupijak. Pada gilirannya, aku memang sempat
menepis ketika dengus Jono mengarah pada gejala lain, tetapi entah pandang mata
lelaki muda yang menghanyutkan mimpi itu mendadak menawarkan suasana lain, aku
benar-benar tak punya kekuatan lagi untuk mendorong dengus nafas Jono yang
dengan irama lain menuntun mimpiku meraih nikmat dengan main layang-layang
dilangit lepas, di tinggi udara yang penuh sepoi dan menghanyutkan, toh
puncaknya hanya jerit histeris yang berkumandang, setelah aku sadar dan
berpijak pada bumi yang nyata.
Seribu uluran maaf yang di salurkan oleh bibir Jono sama sekali lepas
dari ingatanku, aku menangis, aku menjerit, aku menyesal, tetapi sungguh
semuanya memang telah terlanjur, semuanya telah berlalu. Sebuah tamparan kecil yang
kuperuntukan ke pipi Jono kenyataannya tak menyelesaikanpersoalan, mendadak
benakku dikunjungi oleh berjuta hantu begitu gulita, legam dan menakutkan.
Tampaknya bukan hanya aku yang meratap dan selanjutnya menjerit
bertubi-tubi di ruang biru itu, Jono pun bersimpuh menhadap simponi mimpi yang
baru dihadapinya.
Apa yang kujeritkan itu pada gilirannya, benar-benar menciptakan buah,
ya, buah kemelut itu pun tak bisa lagi kusisihkan setelah kemarin aku bergerak
mengunjungi rumah sakit di kota ini, pernyataan dokter tentang positifnya
perutku, sebenarnya tak membuatku terperanjat, sebab ketika berlangsung
permainan layang-layang dulu, aku memang dalam keadaan fit dan subur, karena
itu wajar kalau muntah-muntah dan mual perutku itu merupakan buah dari letupan
hasil yang sempat kuperbuat tiga bulan yang lalu. Padahal selama ini aku sudah
berusaha menelan pil dan kapsul-kapsul untuk membendung kehamilan, padahal selama
ini aku sudah berusaha berdoa sekeras-kerasnya agar hantu yang menjebak benakku
itu tak menjadi kenyataan. Tetapi khabar dari rumah sakit kemarin merupakan
jawaban yang teramat telak untuk melanjutkan trauma, yang kuhadapi, sebenarnya
aku tak terlalu terkejut menerima berita yang dikhabarkan oleh dokter yang
menanganiku, sebab gejala yang seperti itu memang setiap saat merupakan bagian
yang harus kuhadapi. Hanya saja, sebagai perempuan yang dikodratkan lahir
ditengah moral yang masih putih, aku benar-benar kurang punya kesanggupan
menghadapi beban yang akan datang, aku bukan orang Eropa, bukan bangsa Barat,
karena itu perlakuan Jono yang berlangsung sembilan puluh senja hari yang lalu
kembali kuangkat sebagai kutukan yang menyesatkan. Kalau saja yang berbuat gila
dan ganjil itu bukan Jono, bukan adik sepupuku, barangkali akan ada pereda yang
bisa kujadikan penutup traumaku, tetapi yang telah mengajak diriku
melangsungkan adegan layang-layang itu adikku sepupu, adikku Jono yang telah
kukenali dan kuakrabi sebagai mana layaknya keakraban saudara, aku benar-benar
tak kuasa membayangkan, aku tak kuasa mengeja tiap desiran waktu yang terus
menciptakan lelap kemelut dalam benakku, ya, Tuhan aku sepertinya benar-benar
beralih dari dunia pijak semua, sebagai bangsa Timur barangkali yang kulakukan
itu merupakan gejala penyimpangan dimasyarakat, dan itu merupakan salah satu
dekadensi dan akan menjebak memelorotkan agar budayaku yang selama ini terkenal
anggun dan gemulai.
Aku diam, kutahan setiap letupan sesak dada yang siap disetiap saat
untuk menampar batin dan jiwaku. Sudah tiga kali keinginan untuk berbunuh diri
itu menggapai hasratku, tetapi perasaan takut mati pun mendadak lebih kuat
menerjang hati perempuanku.
Ketika telingaku menangkap ketukan pintu, aku berjingkat. Pada mulanya,
perkiraan yang singgah dihatiku adalah Jono yang datang, adik sepupuku itu yang
telah menempati kamar kostnya di salah satu jalan yang dekat di tempatnya
kuliah itu yang muncul dalam benakku.
Tetapi, ketika kubuka pintu, seketika aku terperanjat gugup, “Mas Tomy,
Mas Heru, mari masuk.”
Barangkali, baik Mas Tomy, maupun kawan yang mengikuinya itu menangkap
suasana heran.
“Kok....?”
Aku merunduk.
“Kamu sakit, ya, Tami?”
Menggeleng.
“Mukamu pucat, kamu kelihatan letih, kawan-kawan menanyakan dirimu, ya
aku jawab dengan gelengan kepala, soalnya hampir empat hari aku tak melihat
kelebat sosokmu.”
Aku diam, aku tercekam, seperti kehilangan
selaksa kekuatan, harus kujawab dengan rangkaian kata yang bagaimana Mas Tomy
itu, mengungkapkan yang tengah kusandang itu tak mungkin sebab dengan
bertelanjang diri dihadapannya.
“Kenapa sih, kok kamu tak ikut kuliah, nggak rugi Tami, kenapa?”
Aku menggeleng.
“Kamu sakit ya?”
“Ah, tidak, Cuma anu, nggak enak badan.” Kini kubuka tabir kebohonganku,
padahal yang selama itu tak pernah kulakukan, apalagi terhadap Mas Tomy, lelaki
yang selama ini kupercayai sebagai lelaki yang baikdan jujur.
“Tempo hari aku ketemu Jono, tampaknya dia lesu juga, ada problem dari
desa ya?”
Entah untuk yang keberapa kalinya aku menggelengkan kepala.
“Lantas kenapa sih, kok kamu tega menggagalkan mata kuliah, padahal
selama ini kamu punya stamina dan disiplin yang cukup tangguh dan tinggi.”
Aku merunduk.
“Ah, kelihatannya kamu sakit?”
Aku mengangguk.
“Lho, kamu ini gimana sih, Tami, katanya sakit, tadi bilang tidak, dan
sekarang mengangguk, yang benar aja?”
“Ah, biasa Mas...”
“Maksudmu?”
“Malu ah, ini kan kerjaan wanita.”
Cukup singkat dan pendek kata yang kulepaskan, tetapi itu merupakan
jawaban yang begitu telak, dan akibatnya kutangkap ekspresi muka lega di wajah
mas Tomy.
Dua lelaki yang ada dihadapanku itu kemudian saling mengulum senyum, dan
bersikap ma’afum.
“Oh, kalau begitu ,ya sudah, kupikir kamu sakit apa, tuben biasanya kamu
aktifkuliah,dan kutu buku. Karena itu aku merasa kaget, sekaligus heran,
mendengar khabar ketidakhadiranmu di kampus.”
Hening, dan detak-detik yang dikumandangkan oleh jam dinding, serasa
lebih lambat dibanding denting jantungku yang datang menyerbu, mendadak benakku
kembali retak diserbu oleh kemelut.
“Kamu kelihatan pucat sekali, kalau begitu silakan beristirahat, aku mau
ke rumah Edy.”
“Maafkan saya Mas,” tiba-tiba dadaku menjadi sesak, ya sesak sekali,
tetapi berusaha menahan diri, berusaha menutup dentuman hati yang datang
menyerbu seketika.
Sampai pada akhirnya, Mas Tomy lepas dari pandang mataku sampai
akhirnya,sesak dadaku kembali sarat menanggung akibat yang harus kuapanggul dan
kutanggung, sampai pada akhirnya aku tak sanggup mengendapkan denyut kemelut
yang meletup-letupdi dada wanitaku, dan pada gilirannya aku pun kembali rebah
menumpahkan bingung dan penyesalan di atas tempat tidurku.
Aku menjerit sendirian, aku memekik dalam-dalam, gelora dan gemuruh di
dadaku melebihi gempa bumi sekalipun, yang ada dalam dadaku hanyalah
lalu-lalang kegelisahanmenhadapi beban yang bakal kutempuh, menghadapi
kenyataan hitam yang akan kurengkuh, dan hari-hariku nanti adalah hari-hari
yang akan terkoyak, seperti derak langit yang retak dari birunya warna
beningnya, duh nasib, aku menjerit, aku meratap, membanjirkan timpuk penyesalan
akibat keterlenaanku memainkan layang-layang putih ke udara biru, ke biduk yang
menciptakan hampa dan langkah nista.
*** BERSAMBUNG***
(Novel ini pernah
diterbitkan majalah SARINAH tahun 1994)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar